Saturday 20 August 2016

KH Subkhi, Guru Jenderal Soedirman

Revolusi kemerdekaan Indonesia ditopang oleh perjuangan kaum santri dan barisan Kiai yang menyelamatkan negeri. Sayangnya, kisah perjuangan para kiai dan santri, tenggelam dalam narasi sejarah Indonesia. Salah satunya, Kiai Subkhi Parakan, yang dikenal dengan "Kiai Bambu Runcing".

Kiai Subkhi lahir di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, sekitar tahun 1850. Subkhi, atau sering disebut dengan Subeki, merupakan putra sulung Kiai Harun Rasyid, penghulu masjid di kawasan ini. Subkhi kecil bernama Muhammad Benjing, nama yang disandang ketika lahir. Setelah menikah, nama ini diganti menjadi Somowardojo,  kemudian nama ini diganti ketika naik haji, menjadi Subkhi.



Kiai Subkhi dikenal sebagai seorang yang murah hati, suka membantu warga sekitar yang kekurangan. 

Ketika barisan Kiai mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926, Kiai Subkhi turut serta dengan mendirikan NU Temanggung. Beliau menjadi Rais Syuriah NU Temanggung, didampingi Kiai Ali (Pesantren Zaidatul Maarif Parakan) dan Kiai Raden Sumomihardho, sebagai wakil dan sekretaris. Nama terakhir merupakan ayahanda Kiai Muhaiminan Gunardo, yang menjadi tokoh pesantren dan NU di kawasan Temanggung-Magelang. Kiai Subkhi juga sangat mendukung anak-anak muda untuk berkiprah dalam organisasi. Pada 1941, Anshor Nahdlatul Oelama (ANO) mengadakan pengkaderan di Temanggung, yang langsung dipantau oleh Kiai Subkhi.


Kiai Subkhi dikenal sebagai kiai 'alim dan pejuang yang menggelorakan semangat pemuda untuk bertempur melawan penjajah. Kiai ini, dikenal sebagai "Kiai Bambu Runcing", karena pada masa revolusi meminta pemuda-pemuda untuk mengumpulkan bambu yang ujungnya dibuat runcing, kemudian diberi asma' dan doa khusus. Dengan bekal bambu runcing, pemuda-pemuda berani tampil di garda depan bertarung dengan musuh. Bambu runcing inilah yang kemudian menjadi simbol perjuangan warga Indonesia untuk mengusir penjajah.


Dalam catatan Kiai Saifuddin Zuhri (1919-1986), Kiai Subkhi menjadi rujukan askar-askar yang berjuang di garda depan revolusi kemerdekaan. "Berbondong-bondong barisan-barisan laskar dan TKR menuju Parakan, sebuah kota kawedanan di kaki dua gunung pengantin Sindoro dan Sumbing. Di antaranya yang terkenal adalah Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan Kiai Masykur", Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo, "Barisan Banteng" di bawah pimpinan dr. Muwardi, Laskar Rakyat di bawah pimpinan Ir. Sakiman, Laskar Perindo di bawah pimpinan Krissubbanu dan masih banyak lagi. Sudah beberapa hari ini, baik TKR maupun badan-badan kelaskaran berbondong-bondong menuju Parakan".


Kiai Subkhi dikenal sebagai sosok sederhana, zuhud dan sangat tawadhu'. Ketika banyak pemuda pejuang yang sowan untuk minta doa dan asma', Kiai Subkhi justru menangis tersedu. "KH Wahid Hasyim, KH. Zainul Arifin, dan KH Masjkur pernah mengunjunginya. Dalam pertemuan itu, Kiai Subkhi menangis karena banyak yang meminta doanya. Ia merasa tidak layak dengan maqam tersebut. Mendapati pernyataan ini, tergetarlah hati panglima Hizbullah, KH. Zainul Arifin, akan keikhlasan sang kiai. Tapi, Kiai Wahid Hasyim menguatkan hati Kiai Bamburuncing itu, dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukannya sudah benar", catat Kiai Saifuddin Zuhri dalam memoarnya "Berangkat dari Pesantren".


Kiai Subkhi merupakan teladan dalam kedermawanan, pengetahuan dan perjuangan. Sosok Kiai Subkhi menjadi panutan bangsa ini untuk mengawal negeri, mengawal NKRI. Selayaknya, negara mengakuinya sebagai Pahlawan Bangsa.



No comments:

Post a Comment