SURABAYA - Asosiasi Gula Indonesia (AGI) menyatakan kebutuhan rata-rata tahunan gula kristal putih (GKP) Indonesia yang berada di kisaran tiga juta ton bisa dipenuhi pada 2016.
Ketua Badan Pengarah AGI yang juga Direktur Utama PTPN XI Dolly Pulungan mengatakan jumlah tersebut berasal dari target pemerintah yang dibebankan kepada produsen gula BUMN sekitar 1,6 juta ton, satu juta ton dari swasta dan sisanya sekitar 400.000 ton dari efisiensi industri gula. "Jadi dari produsen BUMN diusahakan bisa dua juta ton," ujar Dolly.
Dia menambahkan saat ini efisiensi industri sudah berjalan dan akan terus ditingkatkan. Beberapa caranya seperti memaksimalkan kapasitas giling, memperbaiki budidaya tanam, meningkatkan teknologi pupuk.
Selain itu, para pemangku kebijakan gula juga meminta pemerintah membatasi izin impor gula agar industri nasional bisa berkembang. "Impor harus disesuaikan dengan kuota dalam negeri. Pemerintah jangan mudah memberikan izin pendirian pabrik gula baru yang ternyata dijadikan sebagai kedok untuk mengimpor gula mentah," tutur Ketua Umum Dewan Pembina DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil.
Adapun demi memenuhi target 2016, termasuk untuk swasembada gula pada 2018 yang dicanangkan pemerintah, perusahaan gula BUMN juga melakukan konversi lahan seluas sekitar 30.150 hektare.
Lahan yang berasal dari wilayah PTPN VII, PTPN IX, PTPN XII dan dari PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) itu akan dikonversi secara bertahap sampai tahun 2018. Jenis lahan yang akan dikonversi menjadi tanaman tebu itu berasal lahan mati, tanaman karet, kopi, dan tanaman keras. "Kebijakan ini akan memperluas area perkebunan tebu dan meningkatkan produktivitas," kata Ketua Umum DPP APTRI Abdul Wachid.
Sementara itu, DPR mendesak agar pemerintah menutup sembilan dari sebelas industri gula rafinasi. Hal ini dinilai akan membunuh industri makanan selain memicu inflasi. Demikian dikemukakan oleh pemerhati Gula Nusantara, Gatot Triyono menanggapi pernyataan Anggota komisi IV DPR Abdul Wachid yang meminta ditutupnya industri tersebut. Selain itu, dia meminta pemerintah mengevaluasi keberadaan industri gula rafinasi yang izin operasionalnya sudah habis.
Dia menilai pernyataan politisi Partai Gerindra itu berpotensi membunuh Industri makanan dan minuman nasional. Padahal, industri itu meyerap tenaga kerja formal dan informal hampir 18,9 juta pekerja.
"Selain itu, juga akan meningkatnya Inflasi secara nasional karena mahalnya harga makanan dan minuman akibat tingginya harga gula," ujarnya.
Gatot yang juga sebagai Ketua Indonesia Sugar Watch ini menilai pernyataan Wachid patut dicurigai pesanan para importir gula putih sebagai suatu cara untuk mendesak pemerintah membuka kran impor gula putih secara langsung. Padahal, impor gula putih tersebut tidak memberikan nilai tambah untuk industri dalam negeri karena tidak melalui proses rafinasi menjadi gula putih dan menambah beban devisa negara, ujarnya.
Pada bagian lain, Gatot menyarankan pemerintah Jokowi untuk membiarkan 11 Industri rafinasi tetap memproduksi gula kristal sampai dengan tumbuhnya pabrik-pabrik Gula milik BUMN. Dari proyeksi kebutuhan gula nasional pada tahun 2015, kebutuhan gula nasional mencapai 5,77 juta ton maka kebutuhan gula nasional 2016 akan meningkat sebesar sebesar 5,97 juta ton. Sementara jumlah produksi Nasional untuk tahun 2016 akan menurun mendekati dua juta ton dibandingkan produksi tahun 2015 yang sebesar 2,9 juta ton.
"Dengan kondisi ini, keberadaan industri gula rafinasi sangat dibutuhkan.Jadi pernyataan Anggota DPR tersebut menunjukan ketidakpekaan dengan dampak jika 11 industri rafinasi gula ditutup," katanya. (end)
No comments:
Post a Comment