Sunday 20 March 2016

Gerhana dan Kabut Kelabu

Cerpen: Istahilagi
                Jalal sudah berada di puncak pilihan. Tapi tetap saja, sedetik kemudian, menjadi patung kebimbangan. Dimantapkannya lagi sejenak. Tapi apa guna, gejolak yang rumit kembali tumbuh. Ransel di sampingnya sudah berisi rapi dengan pakaian. Loker dan laci sudah bersih. Tapi tangannya masih menggenggam erat buku kuning kecil miliknya.
                Tak ada yang mengira bahwa di balik wajah periang itu, tersimpan kabut kelabu yang akhirnya menuntun ke pilihan pelik. Ia tak bisa berhadapan dengan keadaannya sendiri. Karenanya, sejak usai subuh -dan entah sampai kapan, ia mendiamkan diri. Mematung di tengah kemantapan yang dibongkarnya kembali.

                Ya Tuhan, jika saja Engkau tak menghapuskan kabut kelabu ini, bagaimana nantinya jika aku berpaling? Bila pula kerikil-kerikil cadas ini tak henti menghalangiku, apa jadinya jika aku jatuh, lalu memilih jalan lain?
                Kalau saja tidak karena kabar buruk semalam, mungkin Jalal tak akan segelisah ini. Sekarang, dia tak hanya menerima ujian hidup yang biasa dilaluinya, tapi pula harus memilih dua pilihan yang menyesakkan.
                Diletakkan kembali buku kuning kecilnya. Ia kembali memandang ke luar jendela. Sudah hendak mulai. Halaman musala pula mulai didatangi jemaah. Sebentar lagi dunia akan menghitam. Segelap pandangan hatinya yang kian tertutup demi menentukan pilihan.
                Terkadang dia membuka mata untuk melihat satu arah. Ia harus pulang -meninggalkan istana sucinya, lalu berkerja sebisanya demi membantu meringankan beban keluarga. Itu lebih melegakan kondisinya. Akan tetapi ia harus rela meninggalkan tempat segudang ilmu yang dulu  diimpi-impikan.
                Bagaimana aku kuasa memutus langkah di tengah jalan? Sementara banyak orang mengharapkanku di tempat ini. Di sinilah mahligai yang kurindukan. Istana dengan lautan ilmu dan mutiara barokah yang tak ada di tempat lain.
                Setelah menatap lamat-lamat, ia kembali mengambil buku kecil itu. Membuka sebuah halaman, dan membaca satu bait kalimat bertulisakan lafadz Arab; "Waj'alhu min mudlori'in munfatiha."  Setelah itu, kembali ia memupus keputusan pulangnya.
                Jika masa depan akan begitu cerah, kenapa pula kabut kelabu selalu menyertainya. Sudah barang tentu, bila Jalal memilih tetap di tempatnya, belajar dengan ribuan ahli ilmu, sedikit demi sedikit kebodohannya akan terkikis. Tapi tetap saja selalu ada aral yang menyertai perjalanannya.
                Masih teringat seberapa berat apa yang dialami di tempatnya sekarang. Hanya karena tiada bekal yang mencukupi dari rumah, ia harus super tirakat. Puasa menjadi pilihan. Itu pun berbuka dengan makanan apa adanya. Tapi tak apa. Dia menikmati demikian demi cahaya ilmu. Itu yang sudah lama menjadi mimpinya.
                Namun, agaknya cahaya itu sekarang tertutup kabut kelabu. Dia sudah mencoba menyikapi dengan dingin. Tapi apa guna. Problem belum saja bisa terselesaikan. Malah semakin menjerat kehidupannya.
                Baru saja semalam dia mendengar kabar dari rumah. Ayahnya sakit. Sudah barang tentu membuatnya terpukul. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah keluarga. Siapa yang akan menafkahi mereka? sementara mereka pula mesti merawat Ayah.
                Tetap berdiam, atau pulang selamanya. Itu adalah pilihan yang membingungkan. Dia tidak sanggup menerima buah simalakama. Sementara hatinya kian tak mampu menentukan pilihan. Tapi dalam kodisi tersebut, ketidakadaan pilihan pun merupakan sebuah pilihan baginya. Dan tentu saja, bakal ada konsekuensi yang didapat.
                Ya Tuhan, aku akan melalui ujianmu. Benar. Kau beri aku pilihan rumit, maka inilah pilihanku. Maafkan aku ...
                Diletakkan kembali buku kecilnya. Sekarang sudah benar-benar yakin. Ia akan melangkah, meninggalkan istana suci. Dari dalam kamar asrama, kembali ia melihat ke luar jendela -tepatnya pada musala. Sudah penuh jemaah. Untuk kesekali ini saja ia dapat melihat pemandangan itu. Oleh karenanya, setidaknya, melaksankan salat Kusuf bersama para santri akan menjadi kenangan terakhir di tempatnya sekarang.
                Betapa gerhana akan membuat semuanya gelap. Kesaksiannya untuk terakhir kali menginjakkan kaki di pesantren pula akan menjadi sebuah momen yang mengenang.  Setidaknya demi menambah kental sisi gelap di hatinya. Dalam sepanjang umurnya, ini adalah kali pertamanya akan menyaksikan gerhana matahari total, tepat pada keputusan terakhirnya untuk bertolak selamanya dari pesantren. Dan tentu saja dengan keterpaksaan.
                Seusai salat Kusuf, Jalal hendak segera berkemas. Namun, agaknya batinnya menolak. Entah, mungkin dia akan terjerat lagi ke jaring dilema. Rupanya ia begitu tertarik dengan isi khotbah dari sang khatib. Karenanya, urunglah niat untuk langsung berkemas.
                Seperti khotbah biasanya, hanya saja lebih menyinggung tentang fenomena alam langka tersebut. Kegelapan yang dahulu orang-orang membencinya karena ada hal mistis di dalamnya, ternyata bukan demikian. Bukan seorang raksasa yang hendak menelan matahari sehingga manusia panik dan membunyikan apa saja demi mengusirnya. Melainkan salah satu wujud kekuasaan Tuhan yang maha besar.
                Mendengar tentang hal itu, Jalal terdiam sejenak. Bukankah ia selama ini merisaukan masalah pribadinya, sementara semua itu adalah pemberian Tuhan. Kabut kelabu yang selama ini menggumpal di kepala memang menutupi jalan pikirnya. Bukankah bulan pula menutupi sinar matahari, sedangkan mereka menikmatinya, menakjubkan keagungan Tuhan. Lalu, pantaskah ia meratapi masalahnya, mengadu pada Tuhan, sementara ia lupa ke mana ia bersandar.
                Ya Tuhan, Engkau benar. Terima kasih telah memberiku semua ini, sehingga aku mendapatkan dua pilihan. Seharusnya aku tidak melihat sisi hitamnya, karena itu adalah semata pemberian-Mu. Seharusnya aku menghadapi ujian ini dengan penuh kenikmatan, bukan meronta seperti anak kecil. 
                Tak lama, setelah khutbah selesai, para santri berhamburan ke tengah halaman. Memakai kacamata hitam. Dan dunia pun menggelap.
                Kumandang takbir tak henti menggema. Begitu pun di dada Jalal. Tak ada yang jemu menafakuri kebesaran Sang Khaliq. Sebuah fenomena langka yang dahulu membuat risau, sekarang menjadi suatu hal yang ditakjubkan.
                Dari kejauhan, di tengah kerumunan para santri, mata Jalal mengenali sosok tiga orang di depan pintu gerbang. Tidak asing baginya. Meski dunia gelap, tidaklah membuat bayangan seseorang hilang dari pandangan.
                Benar, dia tidak salah lihat. Rupanya Ayah beserta Ibu dan Adik. Bukankah ayahnya sakit? Lalu, kabar mana yang ia percaya?
                Sejanak ia meyalahkan dirinya. Betapa ia lupa. Mereka telah menjanjikan hari ini untuk mengunjunginya. Sementara kabar yang usai membuatnya lesu belum jelas kapan terjadinya.
*Cerpenis adalah aktivis Kafafa yang juga menulis di Majalah Harakah
Istahilagi@yahoo.com

Nama pena                           : Istahilagi
Nama lengkap                     : M. Sahal Yasin
Tempat/Tgl Lahir               : Gresik, 19 Desember 1993
Alamat                                   : Jalan Sunan Giri, Desa Sungonlegowo, Kecamatan Bungah,  Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
No.HP                                     : 081515966660
Email                                      : Istahilagi@yahoo.com
No Rekening                                    Bank Syariah Mandiri 7095520787 a.n. M Sahal Yasin
Karya Buku                          : Antologi cerpen: Aku Ingin Menjadi Santri Selamanya, Asyiknya        Pesantrenku, dan Santri Bejo Menantu Kiai.
Pengalaman Menulis         : Menulis di Majalah Langitan, Majalah Harakah, Majalah Muwasholah, Koran Duta Masyarakat, Nu Online, dan web-web Pesantren Langitan.

No comments:

Post a Comment