Monday, 22 August 2016

Berita Rokok Rp50 Ribu Hoax

Menteri Keuangan Sri Mulyani
"Belum ada aturan terbaru mengenai harga jual eceran maupun tarif rokok sampai hari ini."







JAKARTA-Kementerian Keuangan (kemenkeu) meluruskan isu yang sedang berkembang di masyarakat tentang kenaikan harga rokok mencapai Rp50 ribu per bungkus. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan hingga saat ini, Kemenkeu belum mengeluarkan aturan terbaru yang bisa membuat harga rokok alami kenaikan.


"Belum ada aturan terbaru mengenai harga jual eceran maupun tarif rokok sampai hari ini," kata Ani, panggilan Sri Mulyani, di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (22/8).

Dia memahami, adanya studi yang mengkaji mengenai sensitivitas kenaikan harga rokok terhadap konsumsi rokok dan mengusulkan agar harga rokok dinaikkan. Namun, kajian dan usulan tersebut tak lantas membuat pemerintah langsung menaikkan tarif cukai agar harga jualnya pun naik.

Saat ini, memang pemerintah terus melakukan kajian untuk mencapai target penerimaan cukai pada 2017. Hal ini sejalan dengan penerimaan cukai pada RAPBN 2017 ditetapkan sebesar Rp157,1 triliun di mana sekitar Rp149 triliun berasal dari cukai rokok. Sedangkan cukai rokok tahun ini Rp141,7 triliun.

"Kebijakan mengenai harga jual eceran dan cukai rokok dilakukan sesuai UU cukai dan dalam rangka rencana APBN 2017 yang sampai saat ini masih dalam proses konsultasi berbagai pihak dan nantinya bisa diputuskan sebelum APBN 2017 dimulai," jelas dia.

Sebelumnya, kenaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu per bungkus dinilai efektif untuk menekan jumlah perokok di Indonesia. Harga rokok di Indonesia saat ini masih dianggap terlalu murah dan mudah didapatkan masyarakat.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Kemenkeu, Heru Pambudi menegaskan pihaknya memiliki dua strategi untuk mencapai target cukai tahun depan. Pertama, pengawasan akan lebih diperketat. Kedua, adanya kajian secara mendalam mengenai kebijakan menaikkan tarif cukai rokok.

Meski pemerintah tengah mengkaji untuk menaikkan tarif cukai rokok, namun bukan berarti pemerintah langsung menaikkan harga rokok. Pada konteks ini, sejumlah pihak tidak bertanggung jawab mulai banyak mengarahkan kebijakan dimaksud dengan kenaikan harga rokok. Alhasil, banyak isu yang beredar mengenai kenaikan harga rokok.

Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu menjadi salah satu pihak yang merasa dirugikan atas beredarnya isu mengenai naiknya harga rokok yang beredar di sosial media, pesan berantai, dan pemberitaan media. Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu menegaskan bahwa berita tersebut tidak benar dan masyarakat diminta tidak terjebak isu itu.

"Berita tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena sampai saat ini belum ada aturan terbaru mengenai Harga Jual Eceran (HJE) rokok," cuit Ditjen Bea dan Cukai, dalam akun Twitter seperti dikutip di Jakarta, Senin (22/8).

Saat ini, Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu masih mempertimbangkan banyak hal terkait kenaikan tarif cukai. Hal ini dilakukan agar Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu tidak salah dalam mengambil keputusan dan nantinya justru merugikan banyak pihak. Kajian ini juga terkait pencapaian target dalam RAPBN 2017.

Sementara itu, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Ismanu Soemiran mengecam keras terhadap penyebar berita palsu atau hoax soal kenaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu per bungkus. Dia menilai, isu itu berita bohong.

Ia menegaskan, kenaikan harga rokok telah menyesatkan dan sengaja membuat kegaduhan yang bisa menjadi kekacauan ekonomi. Sebab mata rantai sirkulasi perekonomian Industri Hasil Tembakau (IHT) melibatkan banyak elemen masyarakat.

Apalagi, tingkat IHT sensitivitasnya cukup tinggi mengingat industri ini berbasis pertanian dan memberi konstribusi kurang lebih Rp170 triliun pada 2017 nanti melalui cukai dan pajak. Tentu hal semacam ini perlu dipertimbangkan.

Ismanu menjelaskan, dalam menaikkan tarif cukai rokok, pemerintah sudah mempunyai mekanisme yang pasti sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. "Dan setiap rencana kenaikan selalu didiskusikan dengan industri," tegas Ismanu.

Sebelumnya, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Manusia Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany menjelaskan, dari survei diketahui 46 persen perokok mengaku berhenti merokok jika harganya lebih dari Rp50 ribu per bungkus. Harga itu naik sekitar 300 persen dari harga saat ini.

Dari survei juga diketahui bahwa 80,3 persen atau 976 responden mendukung kenaikan harga dan cukai rokok untuk membiayai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dukungan diberikan karena anggaran JKN selalu defisit setiap tahunnya.

"Butuh terobosan presiden untuk memobilisasi cukai rokok guna menutup defisit dan sekaligus memperbaiki kualitas JKN. Presiden berjanji dalam Nawacita untuk menaikkan cukai rokok 200 persen," kata Hasbullah Thabrany.

Hal sama ditegaskan Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Jakarta (LDUI) Abdillah Ahsan. Menurut dia, ada beberapa cara untuk menekan jumlah perokok di Indonesia. Namun, langkah menaikkan harga dinilai paling efektif.

Ahsan menyebut Indonesia bisa meniru langkah negara-negara tetangga soal kebijakan kenaikan harga rokok. Salah satu contoh yang paling signifikan yakni Australia yang cukup serius dalam penanggulangan masalah rokok.

Dilansir dari The Guardian, pemerintah Australia berencana meningkatkan cukai rokok menjadi 12,5 persen setiap tahunnya mulai dari 2017 hingga 2020. Jika dikalkulasi, harga sebungkus rokok di Australia bisa mencapai kurang lebih Rp588 ribu pada 2020.

Saat ini, rata-rata harga satu bungkus rokok di Australia berkisar Rp241 ribu. Sementara, rata-rata harga satu bungkus rokok di Indonesia hanya sekitar Rp17 ribu.

"Kami mendorong harga rokok jadi Rp50 ribu per bungkus, sehingga anak-anak dan orang-orang miskin juga tidak menghamburkan uang untuk rokok," tutur Ahsan. meo, dit

No comments:

Post a Comment