Para ulama merumuskan sejumlah kriteria pemimpin ideal untuk memimpin umat Islam. Sebab, bagaimanapun pemimpin tidak boleh berasal dari orang sembarangan, yang tidak memiliki kemampuan dan kualifikasi yang semestinya. Kriteria pemimpin ideal dalam Islam adalah:
Pertama, Islam. Seorang pemimpin tidak mungkin bisa membimbing umat Islam dengan aturan-aturan yang islami terkecuali jika pemimpin itu juga beragama Islam. Karena itu, umat Islam diharamkan memilih pemimpin non-Muslim. Dalam al-Quran ditegaskan:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Imran [3]: 28).
Wali pada ayat tersebut merupakan kata tunggal. Bentuk pluralnya adalah auliyâ’ yang berarti teman akrab, pemimpin, pelindung atau penolong. Penegasan yang sama juga terdapat pada QS. At-Taubah [9]: 71 dan QS. Al-Anfal [8]: 73.
Kedua, laki-laki. Pemimpin umat Islam disyaratkan harus laki-laki karena secara watak, perempuan tidak punya kecakapan untuk memimpin negara. Sebab, memimpin negara memerlukan kecerdasan, ketangkasan, kekuatan fisik, mampu mengatur menguasai emosi, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya dalam suatu riwayat, Nabi e bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya pada seorang perempuan”.
Ketiga, taklîf. Artinya pemimpin dalam Islam disyaratkan harus sudah balig dan berakal. Maka tidak sah kepemimpinan anak yang belum balig, orang setres, gila, cacat mental, dan semacamnya. Sebab, memimpin itu berarti menangani urusan orang lain. Orang yang tak bisa menangani urusannya sendiri tidak mungkin bisa menangani urusan orang lain.
Keempat, ilmu. Yang dimaksud ilmu di sini, seorang pemimpin dalam Islam disyaratkan harus mengetahui hukum-hukum Islam, karena kepemimpinan yang akan dinahkodainya berpijak pada hukum-hukum Islam. Jika seorang pemimpin tidak mengetahui hukum-hukum Islam, maka kepemimpinannya tidak sah.
Kelima, adil. Manurut para ahli fikih, yang dimaksud adil di sini adalah, seorang pemimpin harus berhias diri dengan menunaikan seluruh kewajiban dan keutamaan, dan menghindarkan diri dari segala kemaksiatan dan hal-hal yang merendahkan, serta terbebas dari segala hal yang bisa merusak kewibawaan seorang pemimpin.
Keenam, kifayah. Artinya memiliki kemampuan dan kecakapan untuk menjalankan roda pemerintahan, mengatur masyarakat, mengatasi manuver-manuver politik, dan berbagai tantangan lain dalam kepemimpinan. Maka siapa yang tak bisa mengatasi sesuatu, tentu tak layak untuk memimpinnya.
Ketujuh, sehat. Artinya, pemimpin tak boleh memiliki kekurangan fisik yang bisa menghambat kecakapannya dalam memimpin, seperti buta, tuli, bisu, pincang, dan semacamnya.
Adapun syarat kedelapan, adalah Qurasyiyah, yakni pemimpin dalam Islam disyaratkan dari suku Quraisy. Syarat ini termasuk syarat yang diperdebatkan, tidak disepakati oleh para ulama, dan sudah tidak relevan untuk diterapkan saat ini.
Alhasil, meminjam terminologi al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari, pemimpin ideal dalam Islam adalah pemimpin yang rabbânî. Seorang rabbânî, menurut ath-Thabari, memiliki lima kriteria. (1) ‘âlim, (2) faqîh, (3), bashîrun bis-siyâsah (4) bashîrun bit-tadbîr (5) al-qâ’im bi syu’ûnir-ra’iyyah li yushlihû umûra dînihim wa dunyâhum.
Sumber: Biangnews.com
No comments:
Post a Comment