Friday, 19 August 2016

Isinya Dipuji, Etikanya Dicaci

KONTROVERSI DOA PARIPURNA YANG MENOHOK PENGUASA

 

KH SHOLEH QOSIM|DOK

Fudhail bin Iyadh rahimahullah, berkata: Seandainya aku memiliki suatu doa yang pasti dikabulkan (mustajabah) niscaya akan aku peruntukkan untuk penguasa, karena baiknya penguasa berarti baiknya negeri dan rakyatnya.

 

DI MEDIA sosial (medsos) sekarang ramai doa yang dinilai kontroversial. Adalah doa Raden Muhammad Syafii, anggota DPR RI (Gerindra) asal Sumatera Utara, ketika menyampaikan doa penutup pada Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2016-2017 di hadapan Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan jajaran Kabinet Kerja, Selasa (16/8/2016) kemarin.

Isinya bukan sekedar munajat, tetapi juga kritik tajam kepada penguasa. Diakhir doanya ia berharap: “Ya Allah lindungilah rakyat ini, mereka tidak tahu apa-apa. Mereka percayakan kendali negara kepada pemerintah. Allah, kalau mereka ingin bertaubat terimalah taubat mereka ya Allah. Tapi kalau mereka tidak bertaubat dari kesalahan yang diperbuat, gantikan dia dengan pemimpin yang lebih baik di negeri ini  ya rabbalalamin,” demikian disampaikan Syafii.

Semua terbelalak. Termasuk pemirsa televisi di rumah ikut deg-degan, apalagi yang akan keluar dari doa itu. Setelah itu, Romo Syafii, demikian ia akrab dipanggil, menjadi perhatian publik. Bahkan mendapat sambutan tepuk tangan dari anggota DPR yang menghadiri sidang paripurna. Pemandangan yang langka, karena jarang ditemui ada tepuk tangan usai pembacaan doa.

Tidak sampai di situ, usai sidang menjadi viral di media sosial setelah doa itu diunggah ke laman YouTube.

Menurut Syafii doa itu sebagai refleksi kondisi bangsa Indonesia pada Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI ke-71. Karena itu dia menyinggung soal tumpulnya hukum, kemiskinan, hingga insiden bentrokan antara TNI AU dengan warga di Medan kemarin. Dia menolak dikatakan doa skenario, doa politik. “Itu spontanitas saja,” jelasnya.

Meski mendapat apresiasi dari banyak pihak, namun tak sedikit pula yang menganggap doa itu telah menohok pemerintahan Jokowi. Apalagi dalam salah satu baitnya, ia berdoa, agar para pemimpin negara bertaubat kepada Allah. Jika tidak, maka ia berharap agar para pemimpin di negara ini diganti dengan pemimpin yang lebih baik. Kendati begitu, Syafii menegaskan doa yang disampaikan sama sekali tidak didasari rasa kebencian atau pun motif dengki kepada pemerintah.

“Sama sekali tidak ada. Kita ingin adanya perbaikan terhadap nasib bangsa dan negara ini. Contohnya aparat saat ini berhadap-hadapan dengan rakyat padahal seharusnya mereka mengayomi rakyat,” tandasnya. 

Reaksi datang bertubi-tubi,  Syafii mengaku mendapatkan sekitar 300 SMS dan 78 panggilan yang masuk di telepon selulernya pasca membaca doa tanpa teks itu. Dia mengaku siap menerima risiko apabila ada pihak-pihak yang mem-bully dirinya di media sosial.

Salah satunya dari pria bernama Alifurrahman S Asyari. Alif yang mengaku analyst dan pemikir itu menyamakan Muhammad Syafii dengan setan. Alif menulis komentarnya berjudul “Ketika Setan Pimpin Doa di Gedung MPR”. Alasan Alif 80% isi doa berisi keluhan.

Kritik Alif juga menuai kritik baru. “Kasihan banget, ada yang tersinggung, membahas doa dalam Islam, tapi tidak merujuk pada satupun dalil hadits atau Alquran. Kalimat dan judul saja sudah mencerminkan sakit hati atas doa tersebut. Dengan membuat komposisi bahasa seperti ini anda tidak lebih seperti setan yang anda maksud,” begitu balas Irfan Tiakoly.

Walhasil, nuansa politik yang mendominasi. Banyak di antara kita kaum muslimin yang tanpa sadar menghujat dan mendoakan jelek para pemimpin. Terutama ketika mereka melihat pemimpin melakukan kesalahan atau kekeliruan menurut prasangka mereka. Padahal sebagai seorang muslim, Allah swt dan Rasul-Nya  telah menjelaskan bagaimana sikap yang benar sebagai rakyat kepada para pemimpin.

Misalnya, sabar menghadapi pemimpin dholim dan melampaui batas, bahkan digambarkan sampai dengan menjarah harta. Rasulullah  memerintahkan kita bersabar, bukan memberontak  apalagi mengangkat senjata. Karena dengan memberontak,  akan menimbulkan  (lebih) banyak kerusakan. Inilah aqidah ahlussunnah, yaitu senantiasa menimbang dengan mengambil bahaya yang lebih ringan dibandingkan dua bahaya yang ada.

Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menyuguhkan prinsip-prinsip aqidah ahlussunnah, dalam menghadapi pemimpin dholim dengan tidak mendoakan jelek. “Dan tidak mendoakan kejelekan bagi mereka (pemimpin atau pemerintah).” Karena mendoakan kejelekan bagi pemimpin adalah pemberontakan secara abstrak.

Masalahnya adalah, pertama, benarkah pemimpin kita sudah sampai pada stigma dholim? Kedua, benarkah doa yang dipanjatkan Syafii itu bentuk dari pemberontakan?

KH Sholeh Qosim, penulis buku tata cara salat dan berdoa kepada Duta mengatakan, bahwa, manusia tidak memiliki hak untuk menjustifikasi doa seseorang, apakah doa itu termasuk bentuk dari pemberontakan atau tidak. Yang tahu hanyalah dia dan Allah swt.

 “Menurut hemat saya doa paripurna itu isinya bagus bagus saja. Munajah kepada Allah swt. Prihatin dengan para pemimpin, pengambil kebijakan di negeri ini. Sehingga diungkapkan perasaannya, bangsa ini merdeka namun masih dalam jajahan. Maskudnya kebijakan pemerintah kurang berpihak kepada rakyat. Sah-sah saja, orang memiliki perasaan seperti  itu.”

 

Hanya saja, lanjutnya, menjadi tidak biasa, karena isi doa seperti (curhat) itu tidak lazim disampaikan di depan penguasa, saat itu ada Presiden dan Wapres. Karena itu, ada yang menilai tidak seharusnya. Tetapi ada juga yang menilai bagus, apa adanya.

 

“Semua tergantung yang mendengarnya. Dan kita kembalikan kepada yang berdoa. sejauh mana dia tulus memohon kepada Allah swt. Kalau kita tidak setuju, ya tidak perlu mengamininya. Istilah Gus Dur: Gitu Aja Kok Repot,” jelasnya sembari mengutip pesan Nabi Muhammad saw. “Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim dan yang lain, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah, no. 1096—1098, lihat pula takhrijnya dalam kitab Mu’amalatul Hukkam, hlm. 143—151). Waallahu’alam bish-shawab. (*)



No comments:

Post a Comment