Isinya Dipuji, Etikanya Dicaci
KONTROVERSI DOA PARIPURNA YANG MENOHOK PENGUASA
|
KH SHOLEH QOSIM|DOK
|
Fudhail
bin Iyadh rahimahullah, berkata: Seandainya aku memiliki suatu doa yang pasti
dikabulkan (mustajabah) niscaya akan aku peruntukkan untuk penguasa, karena
baiknya penguasa berarti baiknya negeri dan rakyatnya.
DI MEDIA sosial (medsos) sekarang ramai doa yang dinilai
kontroversial. Adalah doa Raden Muhammad Syafii, anggota DPR RI (Gerindra) asal
Sumatera Utara, ketika menyampaikan doa penutup pada Rapat Paripurna Pembukaan
Masa Persidangan I Tahun Sidang 2016-2017 di hadapan Presiden Jokowi, Wakil
Presiden Jusuf Kalla, dan jajaran Kabinet Kerja, Selasa (16/8/2016) kemarin.
Isinya bukan sekedar munajat, tetapi juga kritik tajam
kepada penguasa. Diakhir doanya ia berharap: “Ya Allah lindungilah rakyat ini,
mereka tidak tahu apa-apa. Mereka percayakan kendali negara kepada pemerintah.
Allah, kalau mereka ingin bertaubat terimalah taubat mereka ya Allah. Tapi
kalau mereka tidak bertaubat dari kesalahan yang diperbuat, gantikan dia dengan
pemimpin yang lebih baik di negeri ini ya rabbalalamin,” demikian
disampaikan Syafii.
Semua terbelalak. Termasuk pemirsa televisi di rumah ikut
deg-degan, apalagi yang akan keluar dari doa itu. Setelah itu, Romo Syafii,
demikian ia akrab dipanggil, menjadi perhatian publik. Bahkan mendapat sambutan
tepuk tangan dari anggota DPR yang menghadiri sidang paripurna. Pemandangan
yang langka, karena jarang ditemui ada tepuk tangan usai pembacaan doa.
Tidak sampai di situ, usai sidang menjadi viral di media
sosial setelah doa itu diunggah ke laman YouTube.
Menurut Syafii doa itu sebagai refleksi kondisi bangsa
Indonesia pada Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI ke-71. Karena itu dia
menyinggung soal tumpulnya hukum, kemiskinan, hingga insiden bentrokan antara
TNI AU dengan warga di Medan kemarin. Dia menolak dikatakan doa skenario, doa
politik. “Itu spontanitas saja,” jelasnya.
Meski mendapat apresiasi dari banyak pihak, namun tak
sedikit pula yang menganggap doa itu telah menohok pemerintahan Jokowi. Apalagi
dalam salah satu baitnya, ia berdoa, agar para pemimpin negara bertaubat kepada
Allah. Jika tidak, maka ia berharap agar para pemimpin di negara ini diganti
dengan pemimpin yang lebih baik. Kendati begitu, Syafii menegaskan doa yang
disampaikan sama sekali tidak didasari rasa kebencian atau pun motif dengki
kepada pemerintah.
“Sama sekali tidak ada. Kita ingin adanya perbaikan terhadap
nasib bangsa dan negara ini. Contohnya aparat saat ini berhadap-hadapan dengan
rakyat padahal seharusnya mereka mengayomi rakyat,” tandasnya.
Reaksi datang bertubi-tubi,
Syafii mengaku mendapatkan sekitar 300 SMS dan 78 panggilan yang masuk
di telepon selulernya pasca membaca doa tanpa teks itu. Dia mengaku siap
menerima risiko apabila ada pihak-pihak yang mem-bully dirinya di media sosial.
Salah satunya
dari pria bernama Alifurrahman S Asyari. Alif yang mengaku analyst dan pemikir itu menyamakan Muhammad Syafii dengan
setan. Alif menulis komentarnya berjudul “Ketika Setan Pimpin Doa di Gedung
MPR”. Alasan Alif 80% isi doa berisi keluhan.
Kritik Alif
juga menuai kritik baru. “Kasihan
banget, ada yang tersinggung, membahas doa dalam Islam, tapi tidak merujuk pada
satupun dalil hadits atau Alquran. Kalimat dan judul saja sudah mencerminkan
sakit hati atas doa tersebut. Dengan membuat komposisi bahasa seperti ini anda
tidak lebih seperti setan yang anda maksud,” begitu balas Irfan Tiakoly.
Walhasil,
nuansa politik yang mendominasi. Banyak di antara kita
kaum muslimin yang tanpa sadar menghujat dan mendoakan jelek para pemimpin. Terutama
ketika mereka melihat pemimpin melakukan kesalahan atau kekeliruan menurut
prasangka mereka. Padahal sebagai seorang muslim, Allah swt dan Rasul-Nya
telah menjelaskan bagaimana sikap yang benar sebagai rakyat kepada para
pemimpin.
Misalnya, sabar
menghadapi pemimpin dholim
dan melampaui batas, bahkan digambarkan sampai dengan menjarah harta. Rasulullah
memerintahkan kita bersabar, bukan memberontak apalagi
mengangkat senjata. Karena dengan memberontak,
akan menimbulkan (lebih) banyak
kerusakan. Inilah aqidah ahlussunnah, yaitu senantiasa menimbang dengan
mengambil bahaya yang lebih ringan dibandingkan dua bahaya yang ada.
Imam Abu
Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menyuguhkan prinsip-prinsip
aqidah ahlussunnah, dalam menghadapi pemimpin dholim dengan
tidak mendoakan jelek. “Dan
tidak mendoakan kejelekan bagi mereka (pemimpin atau
pemerintah).” Karena mendoakan kejelekan bagi pemimpin adalah pemberontakan secara
abstrak.
Masalahnya adalah, pertama, benarkah pemimpin kita sudah sampai pada
stigma dholim? Kedua, benarkah doa yang dipanjatkan Syafii
itu bentuk dari pemberontakan?
KH Sholeh Qosim, penulis buku tata cara salat dan berdoa
kepada Duta mengatakan, bahwa, manusia tidak
memiliki hak untuk menjustifikasi doa seseorang, apakah doa itu termasuk bentuk
dari pemberontakan atau tidak. Yang tahu hanyalah dia dan Allah swt.
“Menurut hemat saya
doa paripurna itu isinya bagus bagus saja. Munajah kepada Allah swt. Prihatin
dengan para pemimpin, pengambil kebijakan di negeri ini. Sehingga diungkapkan
perasaannya, bangsa ini merdeka namun masih dalam jajahan. Maskudnya kebijakan
pemerintah kurang berpihak kepada rakyat. Sah-sah saja, orang memiliki perasaan
seperti itu.”
Hanya saja, lanjutnya, menjadi tidak biasa, karena isi doa
seperti (curhat) itu tidak lazim disampaikan di depan penguasa, saat itu ada
Presiden dan Wapres. Karena itu, ada yang menilai tidak seharusnya. Tetapi ada
juga yang menilai bagus, apa adanya.
“Semua tergantung yang mendengarnya. Dan kita kembalikan
kepada yang berdoa. sejauh mana dia tulus memohon kepada Allah swt. Kalau kita
tidak setuju, ya tidak perlu mengamininya. Istilah Gus Dur: Gitu Aja Kok Repot,”
jelasnya sembari mengutip pesan Nabi Muhammad saw. “Barang siapa ingin menasihati
seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi
hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika
dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.)
dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan
kewajibannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim dan yang lain, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani
dalam Zhilalul Jannah, no. 1096—1098, lihat pula takhrijnya
dalam kitab Mu’amalatul Hukkam, hlm. 143—151). Waallahu’alam
bish-shawab. (*)
No comments:
Post a Comment