Saturday 20 February 2016

Kalijodo Diobrak Aparat, Premannya Langsung Semburat

Tak ada yang mengira, ‘kampung mesum’ Kalijodo segera tamat. Berawal dari sopir Toyota Fortuner – yang baru pulang dari sebuah kafe di Kalijodo — menyeruduk sepeda motor, 4 orang tewas. Ini membuat aparat dan pejabat geram. Sabtu (20/2) kemarin, lebih dari 2000 petugas gabungan ‘mengobrak-abrik’ Kalijodo, premannya pun semburat.
KEBETULAN. Senin (8/2) lalu, terjadi kecelakan maut di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Sebuah mobil Toyota Fortuner – yang dikemudikan Riki Agung Prasetio — menyeruduk sepeda motor hingga menewaskan empat orang. Setelah ditelisik, ternyata Riki baru saja pulang dari sebuah kafe di Kalijodo.

Karuan, kecelakaan di Daan Mogot itu memunculkan wacana penertiban Kalijodo. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, langsung ‘menyambar’ dengan mengatakan akan membongkar kawasan Kalijodo setelah membenahi Waduk Pluit.
Ya! Ahok memang butuh isu seksi untuk mengangkat dirinya agar tetap popular di DKI menjelang Pilkada 2017, apalagi Ahok tengah disorot soal kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang kini sedang ditangani BPK. Ada yang menuding Ahok sedang bermanuver mengalihkan isu Sumber Waras.
Atas tudingan itu, Ahok jelas membantah. “Pengalihan bagaimana? Kalijodo sudah ramai sebelum Sumber Waras masuk BPK kok dibilang pengalihan? Saya justru menantang, kalau kasus Sumber Waras bisa dibawa ke hukum, ya bawa. ‎Supaya semua pertanyaan-pertanyaan bisa kelihatan,” ujar Ahok di Markas Kodam Jaya, Cawang, Jakarta, Rabu (17/2).
Semangat untuk menutup Kalijodo menggelinding begitu kencang. Polisi, TNI, ulama serta seluruh politisi mendukung.  “Pokoknya harus ditutup. Kalijodo itu jalur hijau, harus kita bongkar,” tambah Ahok semangat.
Ahmad Dhani, musisi yang baru saja mencalonkan dirinya sebagai calon gubernur (Cagub) dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, tak mau ketinggalan. Bersama puluhan Banser, Dhani turun gunung. Pentolan Band Dewa 19 ini, blusukan ke Kalijodo. Selama satu jam Dhani melakukan berbagai aktivitas, mulai dari makan, ngopi, menggendong bayi hingga diskusi dengan warga.
Karena bukan Gubernur DKI, Dhani tentu tidak punya wewenang untuk mengubah kebijakan yang ada. Dhani pilih mendengar keluhan warga, yang meminta untuk dilindungi agar penertiban Kalijodo berjalan tanpa kekerasan. Dhani juga berjanji akan menyiapkan 200 sampai 1000 pasukan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) milik NU untuk membantu mengamankan penertiban di Kalijodo.
Dhani pun setuju penertiban dan pengembalian fungsi jalur hijau di Kalijodo. Namun ia mempertanyakan urgensi kebijakan Pemprov DKI terkait hal itu. “Memang ini jalur hijau dan masyarakat sadar ini jalur hijau, milik negara. Cuma kenapa kok hanya Kalijodo yang diserang? Kenapa jalur hijau yang lain tidak? Apa urgensi dari pengurusan Kalijodo? Kok harus sesegera, sementara yang lain enggak?” kata Dhani.
Pertanyaan Dhani masuk akal. Tetapi, tidak bagi Ahok. Blusukan Dhani ini dinilai Ahok muspro alias percuma. Ahok punya gaya pendekatan yang berbeda. Sebagai orang nomor satu di DKI, ia memilih tidak datang ke lokasi, cukup mendelegasikan kepada kaki tangannya, seperti wali kota Jakarta Utara, wali kota Jakarta Barat, dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lainnya. “Ngapain saya ke KalijodoLu mau nonton film kungfu? He-he-he,” kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta.
Nyaris Tanpa Perlawanan
Tidak ada perlawanan. Selama ini, yang tertangkap kamera wartawan hanya bos dari Bugis, Daeng Aziz. Preman-preman lain tidak menunjukkan batang hidungnya. Bahkan ancaman perlawanan Daeng Aziz terhadap penggusuran lokalisasi Kalijodo, tidak terbukti alias hanya bualan.
Kamis (18/02) kemarin, sejumlah aparat kepolisian bersenjata lengkap menemani lurah, dan camat untuk mengedarkan surat perintah (SP) pertama agar mengosongkan semua bangunan yang ada di kawasan Kalijodo. Saat itu tak tampak satu orang pun melakukan perlawanan. Justru yang diduga sebagai preman semburat keluar.
Aparat tersebut mengirim SP 1 dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada semua warga atau pemilik klub malam agar melakukan pembongkaran secara sukarela. “Kami melakukan sosialisasi pertama sebagai syarat melakukan penertiban. Hari ini SP 1 kita sebar ke semua penduduk yang masuk peta penertiban di Kalijodo,” ujar Sekertaris Kelurahan Penjagalan, Ihsan Firdaosyi di lokasi saat itu.
Pada surat perintah pertama tertulis dengan jelas peringatan untuk warga agar melakukan pengosongan atau pembongkaran sendiri bangunan yang berdiri di atas lahan peruntukan ruang terbuka hijau (RTH) yang terletak di RT 001, 003, 004, 005, 006 di RW 05 dalam waktu 7X24 jam terhitung hari ini.
Membaca ini, warga Kalijodo pasrah. Hanya Daeng Aziz, yang dikenal sebagai sesepuh preman masih kondar-mandir menemui anggota DPRD untuk membantu mendesak agar Ahok mengurungkan niatnya. Aziz bersama dedengkot Kalijodo yang lain seperti Tamin, Kunarso, Leonard Eko Wahyu Widiatmoko, dan Mohammad Sidik, sepakat menunjuk pengacara kondang Razman Arif Nasution dibantu Femmy Fitria Ferdinandus.
Razman mengatakan, kalau Kelijodo tetap digusur, maka, 1.000 Pekerja Seks Komersial (PSK) di sana akan melawan. Caranya, PSK yang urat malunya sudah tutup itu, bisa saja telanjang bulat.  “Sekarang kalau diaenggak mau (sosialisasi), ya kita lihat saja seperti apa di lapangan, buktinya rakyat akan melawan,” kata Razman.
Ternyata, perlawanan itu tidak ada. Sabtu (20/2) kemarin, dua ribu lebih aparat tumplek blek jadi satu. Sedikitnya 600 anggota Satpol PP, ratusan polisi, ratusan TNI kompak melakukan operasi penertiban penyakit sosial masyarakat (pekat) di kawasan Kalijodo. Berbotol-botol minuman keras disita.
“Ketika kami berhasil menyita beberapa barang seperti miras (minuman keras), juga senjata tajam, narkoba, dan lain-lain, ternyata masyarakat malah senang, mereka malah bersyukur,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Muhammad Iqbal di lokasi operasi, Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu (20/2).
Menurut Iqbal, operasi ini dipimpin langsung oleh Kapolda Metro Jaya, dan dimotori oleh Kapolres Jakarta Utara. “Di lokasi yang dinilai rawan harus hadir polisi untuk memberikan rasa aman, caranya berbeda-beda, pendekatan, razia, penegakan hukum,” tambah Iqbal.
Operasi pekat tetap dilakukan meski sebagian masyarakat Kalijodo sudah meninggalkan wilayahnya. Masih kata Iqbal, operasi kepolisian tidak ada hubungannya dengan permukiman. Kali ini, operasi dilakukan oleh personel gabungan Polri, TNI, hingga Satpol PP DKI. “Dua ribu personel dengan teman-teman TNI dan gabungan,” jelasnya.
Tak kalah menarik, aksi Kapolsek Penjaringan Jakarta Utara AKBP Ruddi Setiawan. Ia tak bosan-bosan beraksi memberi penerangan ke warga Kalijodo saat puluhan personel Polri dan TNI menyisir sejumlah kafe. Dari atas mobil dengan pengeras suara, dia berteriak. “Ini bukan penggusuran. Ini hanya penertiban!” kata Ruddi.
Ruddi berdiri di atas atap mobil bak terbuka. Mobil itu membawa dia ke sepanjang kawasan Kalijodo, dari kawasan Penjaringan Jakarta Utara ke Tambora, Jakarta Barat. “Demi menyelematkan anak-anak kita, jangan sampai terjerat narkoba,” kata Ruddi sambil memegang mikrofon.
Dalam operasi pekat ini, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Tito Karnavian mengimbau agar dilakukan secara humanis, tidak arogan. Tito mendatangi kafe Intan (milik Daeng Aziz) yang juga disisir aparat. Hasilnya ditemukan ratusan botol miras dan senjata tajam. “Lihat sendiri ada tombak, panah, badik, celurit, di gudang (Kafe Intan, red) ini juga ditemukan miras,” katanya sambil menjelaskan pihaknya akan mengejar pihak yang diduga memiliki botol miras dan senjata tajam. Diakui Tito, dalam operasi pekat ini banyak warga yang diduga pemilik kafe, termasuk preman-premannya memilih kabur.
Dengan demikian, diyakini, Kalijodo segera berakhir. Padahal, selama ini Pemprov DKI sudah beberapa kali menertibkan, namun, hasilnya prostitusi yang diapit oleh Kali Angke, dan Kanal Banjir Barat ini tetap berlangsung dan semakin besar saja. Apalagi selama ini Kalijodo diyakini menjadi perkumpulan preman-preman kelas berat.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Krishna Murti pernah menulis buku berjudul Geger Kalijodo tahun 2004. Buku itu ditulis berdasarkan tesis dan pengalaman Krishna sebagai Kapolsek Penjaringan 2001-2004. Buku ini mengulas potensi konflik etnis di Kalijodo yang dikuasi kelompok Bugis, Mandar dan Serang Banten.
Kawasan Kalijodo yang luasnya kurang lebih lima hektare ini, merupakan kawasan padat penduduk. Dari data RW, tercatat warga sebanyak 2.000 kepala keluarga. Tetapi, jumlah itu hanya di atas kertas, karena jumlah sesungguhnya bisa lebih dari 10 kali lipatnya.
Kalijodo selalu menjadi sasaran razia dan penertiban. Sebentar mereda, seusai razia, kembali berjalan. Kalijodo kian menggeliat setelah lokalisasi Kramat Tunggak, Koja, Jakarta Utara, resmi ditutup pada Desember 1999. Berdasarkan data Kelurahan Pejagalan, Jakarta Utara, ada sekitar 50 kafe yang beroperasi di kawasan Kalijodo dan sekitar 150 PSK tinggal di sana. Namun, saat PSK bekerja, jumlahnya bisa mencapai 500 orang.
Seperti lokalisasi lain, Kalijodo juga semakin terkenal karena berbagai peristiwa kekerasan hingga bentrok yang pernah terjadi pada Maret tahun 2013, dua kelompok penduduk bentrok. Mengakibatkan puluhan korban luka-luka.  Akibat bentrokan yang terjadi beberapa ‘perempuan malam’ harus mengungsi ke masjid dekat kantor Kecamatan Tambora. Bahkan menurut Ketua Rukun Warga 10 Kecamatan Tambora, Syaifullah, warga Kalijodo memang terkenal urakan dan tidak kenal takut kepada siapapun. “Jangankan orang sipil, sekelas Kapolsek saja pernah ditodong pistol,” ujar dia.
Itulah yang terjadi pada diri Krishna Murti, Direktur Reserse dan Kriminal Umum Kepolisian Metro Jaya saat menjadi Kapolsek setempat. Tahun 2001 sampai 2003, Krishna yang berpangkat Komisaris Polisi menjadi Kepala Kepolisian Sektor Penjaringan. Wilayah kerjanya meliputi Kalijodo. Di pekan pertama menjabat Kapolsek Penjaringan itulah terjadi bentrok dua kelompok di Kalijodo.


“Bentrokan terjadi pada akhir Mei 2001. Kejadian itu persis pada minggu pertama saya menjabat sebagai Kapolsek Metro Penjaringan. Saya sempat berpikir, barangkali ini ujian pertama menjadi Kapolsek, menangani kasus tawuran massal dua kelompok etnis yang berbeda,” kata Krishna Murti seperti dituturkan dalam bukunya, ‘Geger Kalijodo’.


Kisah paling mendebarkan saat terjadi pembunuhan terhadap salah seorang anggota kelompok etnis di Kalijodo.Tak terima dengan pembunuhan tersebut, salah satu kepala kelompok di Kalijodo bernama Bedul mengamuk sambil membawa pistol. Krishna yang saat itu berada di lokasi langsung memerintah Bedul menyerahkan senjatanya.


Alih-alih menyerah. Bedul malah balik menggertak, “Jangan ada yang mendekat!” teriaknya sambil menodongkan pistol ke arah Krishna.
“Jika pelatuk itu ditarik tamat juga riwayat saya. Kalau pun saya melawan dengan mencabut pistol, pasti ia lebih cepat menarik pelatuknya,” kata Krishna.


Lalu? Dalam hitungan sepersekian detik, sambil menatap tajam mata Bedul, Krishna balik menggertak: “Saya ini Kapolsek. Jika kamu tembak saya, saya mati, tidak masalah karena saya sedang bertugas demi bangsa dan negara. Namun, kalau saya mati Anda semua akan habis!” tambah Krishna.


Rupanya kata-kata itu mengena, tensi amarah Bedul sedikit mereda. Sambil menurunkan senjata, Bedul sempat mengucapkan, “Saya tahu Bapak Kapolsek, tapi saya minta Bapak jangan ambil senjata saya,” kata Bedul sambil menurunkan pistolnya. Barangkali, kisah Bedul dan kekeraan Kalijodo kini tinggal kenangan. Lokalisasi ini telah menjadi bukti, bahwa, jika seluruh aparat kompak, maka, tidak ada yang sulit untuk menutup tempat masiat. (hud)

No comments:

Post a Comment