ENTAH untuk menampilkan kesan “macho” dalam masyarakat modern atau hanya sekedar pernyataan fashion, tidak mungkin untuk menyangkal bahwa jenggot benar-benar sedang naik daun. Meskipun saat ini memelihara jenggot lebih karena gaya daripada kegunaannya, tapi sebenarnya tak harus selalu begitu. Faktanya, pada tahun 1800-an, jenggot sempat ngetren karena alasan yang sama sekali berbeda: kesehatan.
Menurut sejarawan medis Inggris Alun Withey dari Universitas Exeter, jenggot sebenarnya diresepkan oleh dokter sebagai obat untuk penyakit umum seperti sakit tenggorokan dan dianggap sebagai filter udara alami. Meskipun terdengar konyol bagi kita sekarang, sebenarnya ada beberapa alasan di balik hipotesis tersebut.
Seperti yang dijelaskan Colin Schultz dalam Majalah Smithsonian, pada masa itu, kuman adalah penemuan yang relatif baru dan menakutkan. Bahkan saat ini pun, ketakutan kita akan kuman menyebabkan bisnis sabun antibakteri, semprotan dan pembersih rumah tangga laris manis, meskipun bukti ilmiah bahwa segala macam produk itu benar-benar bekerja sangat kurang.
Nah, bagi mereka yang tinggal di era Victoria, “teori kuman penyakit” sangat tenar, masyarakat tiba-tiba dihadapkan dengan rentetan berita yang mengabarkan pada mereka bahwa kuman yang mematikan dan tak kelihatan berkerumun di sekitar mereka. Itu lebih dari cukup untuk menyebabkan kepanikan, dan ketika panik, datanglah ide-ide aneh.
Semakin banyak pasien yang datang ke dokter untuk minta bantuan terhadap penyakit yang berhubungan dengan kuman. Beberapa dokter mendapat ide cemerlang. Mereka mengatakan kepada orang-orang agar menumbuhkan jenggot mereka untuk menyaring udara di sekeliling mereka. Mereka juga mengklaim bahwa rambut pada wajah mungkin membantu menyaring racun lain, seperti debu batu bara dan kotoran-kotoran lain. Kombinasi pertempuran melawan kuman dan penyaring udara inilah yang akhirnya membuat orang-orang memilih memelihara jenggot mereka.
Sekarang kita tahu bahwa Jenggot juga mungkin populer karena alasan lain. Tapi tentu karena andil dokter yang ‘menyiramkan bensin ke dalam api’. Saat ini, kita tahu bahwa memiliki rambut di wajah tak cukup untuk melindungi kita dari kuman. Lagi pula, tak semua kuman buruk bagi kita, tapi hal baiknya, teori kuman menimbulkan kesadaran publik terhadap kesehatan.
Lucunya, menurut Lauren Friedman dari Business Insider, wajah berjenggot bisa kurang higenis daripada wajah yang bercukur. “Studi terbaru di Behavioral Ecology menunjukkan bahwa rambut di wajah dan tubuh berpotensi menjadi sarang dan tempat berkembang biak ektoparasit pembawa penyakit,” lapornya.
Tapi, penelitian tersebut bertentangan dengan penelitian baru lain yang diterbitkan dalam Journal of Hospital Infection, yang meneliti sampel dari 408 staf rumah sakit. Seperti yang dilaporkan David Nield Januari lalu, data menunjukkan bahwa staff yang bercukur tiga kali lebih mungkin memiliki methicillin-resistant Staph aureus (MRSA) pada kulit mereka daripada staf yang berjenggot.
Jenggot bukanlah perawatan paling konyol yang dipercaya publik sebelum ilmu pengetahuan mencapainya. Pada tahun 1700-an, dokter berpikir memberi udara melalui pantat seseorang bisa menyelamatkannya, terutama bagi korban tenggelam. Selama abad pertengahan, orang-orang dilaporkan harus kentut di dalam stoples untuk menangkal wabah.
Saat ini, pemahaman kita mengenai kuman sudah meningkat, masyarakat secara keseluruhan juga lebih sadar akan kebersihan dan bidang medis juga sudah lebih maju. Resep jenggot zaman dahulu lebih disebabkan karena kepanikan massa daripada pemahaman ilmiah apapun. Tapi, tetap menarik untuk melihat ke belakang dan melihat seberapa jauh kemajuan kita sekarang.(ham/ngo)
No comments:
Post a Comment