Wednesday, 2 March 2016

Operator Seluler Harus Kembalikan Duit Konsumen

Gila! Barangkali, kita — pengguna SMS — selama ini tidak sadar, bahwa pulsa kita disedot paksa oleh operator seluler. Begitu digugat ke PN, biaya SMS per-operator yang biasanya Rp350 turun menjadi Rp100 per SMS. Kalau dihitung triliunan rupiah duit kita dikeruk operator.
JAKARTA – Anggota DPR RI mengapresiasi putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum sejumlahoperator seluler karena terbukti melakukan kartel tarif SMS. Wakil Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid meminta para operator mengembalikan hak-hak konsumen tersebut.
“Kita mendukung segala upaya hukum untuk melindungi hak hak konsumen. Maka, kini dengan adanya putusan tersebut, wajib bagi perusahaan yang dimaksud untuk mengembalikan hak hak konsumen,” kata Meutya kepada wartawan, Rabu (2/3).

Kartel yang telah ditelusuri Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah tarif kartel 2004-awal 2008. Sepanjang waktu itu, pelaku operator mendapatkan gemerincing pulsa mencapai Rp133 triliun. Setelah ditelisik oleh KPPU, keuntungan itu sebagian didapat dari hasil kartel tarif SMS yang mencapai Rp2,8 triliun. Ironisnya, separo lebih pulsa pelanggan diembat.
“SMS ini sebuah layanan yang sangat dekat dengan masyarakat dari perkotaan hingga di desa. Jadi patut kejadian ini menjadi pelajaran bagi para operator agar selalu memperhatikan dan melindungi hak konsumen ke depan,” ujar politikus Partai Golkar itu.
KPPU menjatuhkan denda kepada pelaku kartel yaitu PT Excelkomindo Pratama Tbk sebesar Rp 25 miliar, PT Telekomunikasi Seluler sebesar Rp 25 miliar, PT Telekomunikasi Indonesia sebesar Rp 18 miliar, PT Bakrie Telecom Tbk sebesar Rp 4 miliar dan PT Mobile-8 Telecom Tbk sebesar Rp 5 miliar. Putusan ini sempat dibatalkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) tetapi dikuatkan kembali oleh Mahkamah Agung (MA) pada 29 Februari 2016 kemarin.
“Ini juga pembelajaran bagi para konsumen yang selama ini cenderung permisive. Jika ada keberatan terhadap operator atau merasa dirugikan, maka melaporlah karena konsumen punya peran penting dalam menciptakan industri yang sehat,” saran mantan presenter itu.
Sementara,  Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) meminta Kominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI)  segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA).
“BRTI atau Kominfo juga bisa mendesak 5 operator untuk mengembalikan (uang konsumen). Jadi dalam hal ini pemerintah harus bantu konsumen agar hak-haknya konsumen yang sudah diambil bisa dikembalikan,” ujar anggota BPKN David Tobing kepada detikcom, Rabu (2/3).
Dukungan pemerintah sangat diperlukan dalam hal ini agar ke depannya tidak adalagi operator-operator nakal yang nekat mengambil keuntungan dari me-mark up tarif SMS semacam itu. Menurutnya, di saat seperti ini negara harus hadir dengan menunjukkan sikap yang tegas.
“Dalam hal ini BRTI atau Kominfo bisa mendesak mengembalikan ke konsumen. Pertama, minta mereka sukarela ganti. Kalau enggak, masyarakat punya hak untuk menggugat dikembalikan uangnya,” lanjutnya. “Pokoknya kita harus mendorong BRTI dan Kominfo segera minta operator ganti rugi,” tutup David.
Sebagaimana diketahui, KPPU menyatakan lima operator terbukti bersalah melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pada 17 Juni 2008 KPPU menjatuhkan denda kepada pelaku kartel.
Atas putusan MA itu, Ketua KPPU Syarkawi Rauf memberi acungan jempol untuk lembaga tertinggi peradilan di Indonesia tersebut.
“Kita sangat mengapresiasi hakim yang menangani perkara ini. Artinya, sesuai yang diinginkan KPPU untuk membuat industri telekomunikasi lebih efisien dan lebih murah itu kan menguntungkan rakyat,” ujar Syarkawi.
Menurut Syarkawi sebelum kasus permainan kartel harga ini tidak pernah diangkat ke muka, maka akan banyak konsumen yang dirugikan dari pengiriman SMS antar operator seluler.
“Sebelum putusan ini, SMS per operator biayanya Rp 350. Dengan putusan KPPU industrinya mulai menurunkan jadi Rp 100 per SMS. Sehingga kalau kita hitung-hitung ada saving triliunan rupiah oleh masyarakat karena pengguna telepon di Indonesia sudah mencapai ratusan juta. Masing-masing orang bahkan punya lebih dari satu handphone,” terang Syarkawi.
Kasus kartel tarif SMS ini bermula saat KPPU menerima adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat oleh sejumlah provider seluler di Indonesia. Atas laporan tersebut, KPPU langsung bergerak cepat mengawasi operator-operator yang dicurigai melakukan kartel tarif SMS sepanjang 2004-2007 untuk tarif off-net (lintas operator) pada pasar kompetitif.
Benar saja dalam kurun waktu tersebut, enam operator seluler meraup keuntungan hingga Rp 133 triliun. Atas dasar temuan itu, KPPU mempolisikan empat operator yang dinilai bersalah karena telah merugikan konsumen hingga miliaran rupiah.
Setelah di hukum KPPU, para operator pun keberatan dan mengajukan banding ke PN Jakpus. Bak gayung bersambut, majelis hakim justru membalik keadaan dengan membatalkan keputusan KPPU alias memenangkan keempat operator tersebut.
Tak terima, giliran KPPU mengajukan kasasi ke MA. Hasilnya, pada 29 Februari 2016 lalu ketua majelis hakim agung Syamsul Maarif SH LLM PhD dengan anggota hakim agung Dr Abdurrahman dan hakim agung I Gusti Agung Sumanatha mengabulkan kasasi KPPU.
Padahal, putusan PN Jakpus sudah diketok dari tahun 2008 lalu, namun memori kasasi KPPU baru masuk ke MA pada Mei 2015 dan sampai ke meja hakim agung pada 15 Januari 2016. Terkait lamanya jeda waktu antar putusan ini, Syarkawi beranggapan hanya karena ada kendala administrasi semata.
“Salah satu Terlapor yang kita hukum domisilinya bukan cuma di Jakarta tapi ada yang di Bandung. Nah menurut peraturan MA, Terlapor yang tersebar itu harus disatukan. Prosedur pemindahan itu lumayan makan waktu,” kata Syarkawi.  (dt,ok)

No comments:

Post a Comment