SURABAYA – Rencana Lapindo Brantas melakukan pengeboran gas sampai saat ini belum ada kejelasan meski Bupati Sidoarjo Saiful Ilah sudah memberikan lampu hijau. Namun trauma masyarakat dengan kasus lumpur Lapindo menjadi sebab terhambatnya rencana pengeboran.
“Tim Lapindo sudah audisi dan memaparkan rencana pengeboran dan dijamin aman,” katanya dalam sarasehan Polemik Kebijakan Pengeboran Lapindo Brantas yang digelar di Surabaya kemarin.
Saiful Ilah menambahkan Lapindo Brantas membeberkan data-data yang diharapkan meyakinkan rencana pengeboran sumur pengembangan Tanggulangin (TGA) 10 dan TGA 6 di Desa Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin bakal berjalan aman.
“Salah satu data kunci yang dipunyai Lapindo Brantas adalah data integritas atau keandalan casing pada sumur-sumur yang ada di Lapangan Wunut dan Tanggulangin, termasuk yang ada di Desa Kedungbanteng. Harusnya tidak ada masalah,” jelasnya.
Vice President (VP) Corporate Communication Lapindo Brantas, Hesti Armiwulan saat tampil sebagai pembicara sarasehan "Polemik Kebijakan Negara pada Pengeboran Sumur Migas di Sidoarjo", digelar Centre Public Policy and Globalization Studies (CP2GS) megatakan sampai saat ini Lapindo sudah mengeluarkan anggaran Rp 7,9 triliun. Lapindo Brantas Inc juga harus pinjam kepada pemerintah sebesar Rp 781 miliar dengan bunga 4,8% per tahun dan jatuh tempo pelunasan selama 4 tahun pasca perikatan pinjaman itu diteken.
Dana ini dipakai untuk membayar sisa rumah, bangunan, dan lahan milik warga yang belum terbayar. "Ibaratnya, kami sudah jatuh lalu tertimpa tangga. Sebab, lumpur yang menyembur pada Mei 2006 lalu karena faktor alam, bukan humas error," ujar Hesti.
Karena itu, untuk memenuhi semua kewajiban dan tanggung jawab korporasi dalam perspektif bisnis dan finansial, Lapindo Brantas mengajukan permohonan kepada pemerintah (Kementerian ESDM) dan SKK Migas agar diizinkan mengebor sumur baru.
Itu pun, katanya, pengajuan Lapindo Brantas itu tak langsung disetujui. Dilakukan studi geologi yang melibatkan ahli dari ITB Bandung untuk melakukan penelitian selama 2 tahun di lahan yang akan dibor Lapindo Brantas.
"Perizinan lainnya, seperti UKL, UPL, dan izin lingkungan juga kami ajukan dengan tempo persetujuan cukup lama. Jadi, dari perspektif perizinan kami clear dan tak ada persoalan," tegas Hesti.
Namun demikian, dalam perspektif sosial, ternyata ada resistensi dari sebagian orang ketika Lapindo Brantas menjalankan tahapan-tahapan pekerjaan fisik sebelum pengeboran dilakukan. Saat land clearing dilakukan pada awal Januari 2016, ternyata ada sebagian warga di 3 desa yang lahannya akan dibor menyampaikan penolakan.
"Padahal, kami membuat kesepakatan dan perjanjian dengan warga 3 desa itu dengan kompensasi tertentu yang telah disepakati. Di mana tiap desa bakal mendapat kompensasi Rp 30 juta," ungkapnya.
Akibat munculnya resistensi itu, rencana land clearing dan tahapan pekerjaan lain menuju pengeboran dihentikan. Terlebih sejumlah otoritas pemerintahan di Pemprov Jatim juga menyampaikan larangan secara lisan.
"Sampai detik ini kami belum pernah menerima secarik kertas yang menyebutkan Lapindo Brantas tak boleh mengebor sumur migas di 3 desa di Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo," tandas Hesti. Imm
Karena itu, untuk memenuhi semua kewajiban dan tanggung jawab korporasi dalam perspektif bisnis dan finansial, Lapindo Brantas mengajukan permohonan kepada pemerintah (Kementerian ESDM) dan SKK Migas agar diizinkan mengebor sumur baru.
Itu pun, katanya, pengajuan Lapindo Brantas itu tak langsung disetujui. Dilakukan studi geologi yang melibatkan ahli dari ITB Bandung untuk melakukan penelitian selama 2 tahun di lahan yang akan dibor Lapindo Brantas.
"Perizinan lainnya, seperti UKL, UPL, dan izin lingkungan juga kami ajukan dengan tempo persetujuan cukup lama. Jadi, dari perspektif perizinan kami clear dan tak ada persoalan," tegas Hesti.
Namun demikian, dalam perspektif sosial, ternyata ada resistensi dari sebagian orang ketika Lapindo Brantas menjalankan tahapan-tahapan pekerjaan fisik sebelum pengeboran dilakukan. Saat land clearing dilakukan pada awal Januari 2016, ternyata ada sebagian warga di 3 desa yang lahannya akan dibor menyampaikan penolakan.
"Padahal, kami membuat kesepakatan dan perjanjian dengan warga 3 desa itu dengan kompensasi tertentu yang telah disepakati. Di mana tiap desa bakal mendapat kompensasi Rp 30 juta," ungkapnya.
Akibat munculnya resistensi itu, rencana land clearing dan tahapan pekerjaan lain menuju pengeboran dihentikan. Terlebih sejumlah otoritas pemerintahan di Pemprov Jatim juga menyampaikan larangan secara lisan.
"Sampai detik ini kami belum pernah menerima secarik kertas yang menyebutkan Lapindo Brantas tak boleh mengebor sumur migas di 3 desa di Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo," tandas Hesti. Imm
No comments:
Post a Comment