Banyak masyarakat yang anti dengan adanya imunisasi. Pemerintah berulangkali menegaskan bahwasanya imunisasi sangat diperlukan untuk tumbuh kembangnya anak. Dan hak anak untuk mendapatkan imunisasi mencegah terjadinya penyakit dari banyaknya virus yang berkembang.
Berbagai pemikiran keliru mengenai imunisasi memengaruhi kaum ibu. Akibatnya, banyak anak yang tidak diikutsertakan pada program imunisasi. Padahal, imunisasi dapat mencegah terjadi kematian akibat penyakit infeksi berat, seperti tuberkulosis, difteri, campak, polio, tetanus, serta hepatitis B.
"Imunisasi adalah usaha untuk menghindari berbagai penyakit berbahaya karena tubuh anak lebih kebal saat kuman atau bakteri menyerang," kata Cissy B Kartasasmita, Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Data Riset Kesehatan Dasar 2013, terdapat 8,7 persen anak berusia 12-23 bulan yang tidak pernah mendapatkan imunisasi. Persentase tertinggi terjadi di Papua, yakni 36,6 persen anak tidak mendapat imunisasi.
Menurut Cissy, banyak orang berpikir bahwa tubuh anak dapat melawan kuman secara alami. Orangtua membiarkan kuman atau bakteri dari lingkungan menyerang tubuh anak. Mereka biasanya hanya memberikan madu sebagai bahan makanan untuk meningkatkan kekebalan tubuh anak.
Hal itu, kata Cissy, tidak cukup melindungi anak dari berbagai kemungkinan infeksi. Sebab, kemampuan kuman dan bakteri dari lingkungan yang menyerang dapat lebih besar. Kuman itu dapat menyerang kapan pun, khususnya ketika daya tahan tubuh anak menurun. "Tubuh anak akan sulit melawan kuman kalau belum pernah diimunisasi sehingga rentan terserang penyakit," katanya.
Berbagai vaksin yang diberikan pada imunisasi sudah melalui uji klinik. Daya serang kuman dalam vaksin telah direkayasa sehingga tidak akan melebihi kemampuan tubuh anak untuk melawan kuman tersebut.
"Kuman dalam vaksin telah dilemahkan. Beberapa bahkan hanya replika kuman maupun kuman yang sudah dimatikan," katanya.
Cissy menyatakan, memang ada efek samping pada anak setelah pemberian imunisasi. Efek tersebut wajar sebagai respons tubuh anak menghadapi kuman yang dimasukkan ke dalam tubuh. Efek samping itu tidak berbahaya, justru lebih baik karena melatih kekebalan tubuh anak saat menghadapi kuman atau bakteri dari lingkungan.
"Risiko terserang penyakit berbahaya akan lebih besar jika tidak diimunisasi," kata Cissy.
Ia mengatakan, tingkat kejadian kelumpuhan akibat imunisasi polio hanya satu di antara puluhan juta anak yang diimunisasi. Faktor penyebabnya bukan karena kesalahan vaksin yang diberikan, melainkan karena faktor genetik anak. Artinya, kekebalan tubuh anak tidak dapat merespons ketika vaksin polio diberikan. Akibatnya, anak mengalami kelumpuhan.
Saat ini, kata Cissy, sedang dikembangkan vaksin polio untuk memfasilitasi anak-anak yang mempunyai kekebalan tubuh lemah. Hal itu dilakukan agar kejadian kelumpuhan tidak menjadi momok dalam program imunisasi.
Ia berharap setiap anak di Indonesia mendapatkan imunisasi lengkap sehingga kejadian penyakit berbahaya dapat dicegah. "Anak yang terkena penyakit akibat tidak diimunisasi dapat menyebarkan penyakit ke anak-anak lain," katanya.
Imunisasi merupakan salah satu cara melindungi anak dari penyakit dan kematian akibat infeksi berat. Meski begitu, ternyata masih banyak orangtua yang tidak mau memberikan imunisasi kepada anaknya karena berbagai alasan.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, ada beberapa alasan yang membuat anak tidak diberi imunisasi oleh orangtuanya. Sebanyak 28.8 persen karena alasan anak mengalami demam, 26,3 persen karena keluarga tidak mengizinkan, 21,9 persen karena tempat imunisasi jauh, 16,3 persen karena orangtua sibuk atau repot, 6,8 persen anak sering sakit, dan 6,7 persen tidak tahu tempat imunisasi.
Menurut Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) sekaligus anggota Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, ada tiga penyebab utama mengapa ada orangtua yang anti dengan imunisasi.
"Ada anggapan bahwa percobaan vaksin itu menjijikkan, padahal percobaan seperti itu sudah sangat lewat masanya dan sekarang teknologinya sudah berkembang. Ketidakpahaman atau ketidaktahuan akan vaksin imunisasi, baik itu isinya atau tujuannya juga masih ada," papar Sri.
Kesalahpahaman kedua adalah adanya anggapan bahwa vaksin itu hanya untuk bisnis. Ada yang menyebutkan bahwa vaksin hanya untuk jualan. Terakhir adalah karena ideologi, khususnya terkait soal keyakinan akan kandungan vaksin dan pertimbangan halal atau haramnya.
“Dari produsen maupun konsumen, yang paling penting vaksin itu aman dan harus ada stempel atau telah mendapat izin dari BPOM, kalau tidak aman tidak akan dipakai. Semua vaksin yang beredar di Indonesia memiliki nomor registrasi BPOM dan telah dikaji haram atau halalnya di sana, sehingga kami bisa yakin mana yang bisa digunakan,” katanya. Imm/kom
No comments:
Post a Comment