Sunday, 28 February 2016

Bersyukur Rencana Teror Besarnya di Asteng Gagal

Mantan pimpinan teroris Asia Tenggara Nasir Abbas mengungkapkan rasa syukurnya setelah disadarkan mengenai aksi brutalnya. Saat itu dia ketua Mantiqi III Mujahidin untuk wilayah Asia Tenggara.
“KESYUKURAN saya karena rencana besar saya untuk melakukan teror di Asia Tenggara pada tahun 2003 itu gagal setelah Pak Saud Usman menangkap saya,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam dialog kebangsaan di Balai Jenderal Muh Yusuf Makassar, Jumat (26/2).
Di hadapan seribuan pengurus dan anggota Kosgoro di Sulawesi Selatan, Nasir Abbas mengatakan, dirinya merupakan guru dari Imam Samudra serta guru dari para teroris terkenal lainnya di Asia telah banyak menciptakan banyak kamp latihan bagi para pemuda.

Nasir Abbas mengatakan, dirinya merupakan guru dari Imam Samudra serta guru dari para teroris terkenal lainnya di Asia. Dia menceritakan bagaimana rasanya saat memimpin kelompok Mujahiddin di beberapa wilayah di Asia Tenggara sebagai otak kelompok teroris.
Diungkapkannya, dirinya adalah ketua Mantiqi III untuk mengatasi wilayah di Asia Tenggara, seperti Sabah Malaysia, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan beberapa wilayah lainnya.
“Jadi wilayah-wilayah ini diamanahkan untuk saya untuk dijadikan sebagai tempat atau pintu masuk militer Jamaah Islamiyah. Jadi cara kerjanya itu, memanfaatkan konflik yang terjadi seperti di Poso,” katanya.
Pengakuan Nasir Abbas yang disaksikan langsung oleh Menteri Pertahanan Jend (Purn) Ryamizard Ryacudu, Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh, politisi Golkar Agung Laksono, serta Kepala BNPT Komjen Pol Saud Usman Nasution.
Nasir mengaku, sejak remaja usia 18 tahun dirinya sudah dikirim ke Afghanistan mengikuti pelatihan militer selama enam tahun dan bergabung dengan beberapa kelompok
radikal lainnya.
Nasir menyebutkan, Santoso adalah murid Imam Samudra yang dimana pada tahun 1992 di Afghanistan, dirinya bertemu langsung dengan Imam Samudra, Umar Patek, Dr Azhari, Ali Imron dan beberapa pelaku terorisme asal Indonesia lainnya yang masuk pada angkatan ke-10.
Melalui pengalamannya itu, dia kemudian membangun kamp pelatihan militer di beberapa negara seperti Filipina. Selama tiga tahun, dirinya mempersiapkan para relawan yang akan menjadi mujahidin.
Bukan cuma itu, para mujahidin yang telah melalui proses pelatihan militer dengan keras itu juga dibekali dengan senjata, amunisi, bahan peledak dan peralatan perang yang kemudian disimpan untuk dipasok di beberapa wilayah seperti Poso, Sulawesi Tengah.
Menurut Nasir yang warga asli Malaysia itu, dirinya ditangkap di wilayah Bantar Gebang, Bekasi, 17 April 2003. Pada saat itu, dirinya ingin memanfaatkan perjanjian Malino dengan menciptakan teror dan meledakkan beberapa tempat.
Namun, upayanya itu gagal saat dirinya diringkus oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror yang dipimpin langsung oleh Saud Usman Nasution yang sekarang menjabat kepala Badan
Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT).
Pria berkaca mata ini dikenal sebagai instruktur pelaku Bom Bali I, 2002 di kamp mujahidin, Kamp Saddah di Afghanistan (awal 1990), dan Kamp Hudaibiyah di Mindanao. Nasir masuk angkatan kelima pelatihan militer di Kamp Saddah. Tak heran jika Nasir merupakan tokoh teroris yang paling dicari di Asia Tenggara pada saat itu.
40 Napi Sadar
Nasir Abbas adalah Napi terorisme yang sudah insaf. Saat ini, juga ada puluhan napi yang menurut BNPT sudah insaf. Menurut Kepala BNPT Saud Usman Nasution, saat ini ada 40 dari 240 narapidana teroris yang sudah sadar dan siap keluar dari ajaran radikalisme. Ke-40 Napi ini sekarang dipisahkan dan tak digabungkan dengan napi yang masih memiliki paham radikal. “Ke-40 Napi sadar dan koperatif. Kami pisahkan di tempat pemenjaraan itu agar jangan gabung. Agar yang sudah kooperatif dipengaruhi
yang masih radikal. Kalau ketemu nanti kan bisa takut,” ujar Saud usai rapat dengan Komisi III di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (22/2) lalu.
Dia menyebut lokasi pemisahan 40 napi ini rencananya ditempatkan di salah satu lembaga pemasyarakatan di Bogor, Jawa Barat. Upaya ini agar napi yang sudah sadar tak kembali terpengaruh.
“Itu di Sentul, Jawa Barat upaya rencana kita. Ini supaya tak terpengaruh lagi,” tuturnya. Seperti apa upaya penyadaran yang dilakukan BNPT terhadap napi di dalam Lapas? Menurut dia, beberapa pihak dari mulai pakar, ulama, hingga psikolog diturunkan membantu penyadaran. “Kami ajak pakar-pakar dan ulama-ulama serta psikolog agar mereka mau komunikasi,” tuturnya.
Dia menambahkan, pakar, tokoh agama ini disiapkan pula menghadapi narapidana dengan paham radikal dan sulit disadarkan. Dari 240 napi, ada 8 napi teroris yang doktrinasinya begitu kuat. “Delapan itu masih kuat, kokoh dengan pola pikirannya yang radikal. Ini kami terus komunikasikan dengan tokoh ulama sampai pakar,” tuturnya.
Revisi UU Terorisme
Sementara itu, isu terorisme yang lagi hangat di tanah air saat ini adalah pemerintah sedang berupaya merevisi UU terorisme. Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menganggap ada sejumlah poin yang janggal dalam draf revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang terorisme yang diajukan pemerintah.
Menurut dia, ada logika terbalik dalam salah satu poin yang diajukan, yakni perpanjangan masa penangkapan menjadi 30 hari. Sementara dalam aturan yang saat ini berlaku, batas waktu penangkapan adalah 7×24 jam.
“Kenapa mesti 30 hari? Seharusnya penangkapan itu setelah mendapat bukti, bukan untuk mencari bukti,” ujar Arsul dalam diskusi di Jakarta, Minggu (28/2).
Arsul mengatakan, laporan intelijen saja sudah menjadi satu alat bukti. Sementara alat bukti lainnya bisa dari keterangan saksi. Dengan demikian, Arsul menganggap tak ada alasan untuk memperpanjang masa penangkapan.
“Ada keperluan untuk revisi itu, tapi tidak kemudian jadi terlalu luas,” kata Arsul. Dia berjanji akan mengkritisi ajuan pemerintah itu di Badan Legislasi. Menurut dia, sejumlah poin yang direvisi justru hilang dari fokus kebutuhan.
Sementara menurut Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mrnganggap, penangkapan hanya periode transisi yang tidak butuh waktu panjang.
Bahkan, sedianya waktu 1×24 jam pun cukup untuk menemukan bukti tambahan, tak perlu sampa berminggu-minggu.
“Soal penangkapan itu salah tafsir. Ditangkap malah untuk cari alat bukti,” kata Haris.
Sebelumnya, ada enam poin perubahan yang hendak diusulkan pemerintah kepada DPR dalam revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang terorisme.
Pertama, dari sisi penangkapan dan penahanan, akan ditambah waktunya. Kedua, dalam hal penyadapan, ijin yang dikeluarkan diusulkan cukup berasal dari hakim pengadilan saja. Saat ini, yang berlaku yaitu ijin penyadapan dari ketua pengadilan negeri.
Ketiga, pemerintah mengusulkan agar penanganan kasus dugaan tindak pidana terorisme diperluas. Aparat diusulkan sudah dapat mengusut terduga teroris sejak mereka
mempersiapkan aksi. Keempat, pemerintah juga mengusulkan agar WNI yang mengikuti pelatihan militer teror di luar negeri dapat dicabut paspornya.
Kelima, perlu adanya pengawasan terhadap terduga dan mantan terpidana teroris. Keenam, pengawasan yang bersifat resmi ini juga harus dibarengi dengan proses ehabilitasi secara komprehensif dan holistik. ntr, dit, kcm

No comments:

Post a Comment