Jakarta- Direktur Program Pascasarjana STAINU Jakarta yang
baru, Mastuki HS mengatakan, pihaknya akan memperkuat kajian Islam Nusantara
dengan melibatkan para pakar dan peneliti yang menekuni bidang ini.
Hal itu disampaikannya di ruang pertemuan kantor PBNU
Jakarta, Senin (15/2) siang, sesaat setelah dikukuhkan sebagai Direktur Program
Pascasarjana STAINU Jakarta menggantikan Ishom Yusqi. Pengukuhan dilakukan oleh
Ketua STAINU Jakarta Syahrizal Syarif yang disaksikan Ketua BP3T NU KH Mujib
Qulyubi.
Menurut Mastuki, diskursus “Islam Nusantara” saat ini sudah
sangat populer terutama setelah dijadikan tema Muktamar ke-33 NU di Jombang,
2015 lalu.
STAINU Jakarta merupakan perguruan tinggi Islam di Indonesia
yang pertama kali membuka program studi Islam Nusantara.
“Kita akan memperkuat posisi kajian Islam Nusantara ini. Di
luar banyak sekali yang hadir untuk memperkaya perspektif kajian Islam
Nusantara,” kata Mastuki, kemarin.
Ditambahkan, Pascasarjana STAINU Jakarta juga akan
bersinergi dengan perguruan tinggi Islam yang lain untuk mengembangkan kajian
Islam Nusantara secara lebih mendalam dan spesifik pada beberapa fokus kajian.
Pengukuhan direktur dan para pimpinan Program Pascasarjana
STAINU Jakarta yang baru itu diadakan di sela rapat Rapat Dewan Dosen STAINU
Jakarta untuk Semester Genap tahun akademik 2015-2016. Hadir para dosen STAINU
dari Kampus A Matraman Jakarta Pusat, Kampus B Parung Bogor dan Kampus C Kedoya
Jakarta Barat.
Terpisah Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur KH Muhib Aman
Aly menyatakan bahwa Islam Nusantara sama sekali tidak antiarab. Hal demikian
ini diungkapkannya di hadapan para utusan cabang NU se-Jawa Timur pada acara
Bahsul Masail Islam Nusantara di Universitas Negeri Malang, Sabtu, (14/2) lalu.
“Dengan Islam Nusantara bukanlah berarti bahwa kita
anti-Arab,” tegasnya.
Ia mengungkapkan bahwa jika saja kita memahami Islam
Nusantara sebagai sebuah metode dakwah, maka tidak akan ada kesalahpahaman.
Karena sejatinya Islam Nusantara adalah metode dakwah semata. Karena kondisi
Nusantara dengan Timur Tengah tidak sama.
“Jika saja kita memahami Islam Nusantara, maka tidak akan
ada NU garis-garisan. Karena Islam Nusantara adalah cara para wali songo untuk
memasukkan Islam ke Nusantara,” paparnya.
Selanjutnya, ia menjelaskan tentang pentingnya memasukkan
nilai-nilai Islami kepada budaya-budaya lokal sepanjang budaya itu bisa
diislamisasi. Hal ini penting bagi dakwah Islam. Karena dakwah dengan model
apapun, harus bisa beradaptasi dengan tradisi lokal sehingga Islam dapat di
terima dengan baik. Strategi ini juga dilakukan Nabi Muhammad SAW dalam
merangkul kelompok-kelompok lain saat di Madinah.
“Tidak mungkin untuk membangun peradaban Islam tanpa adanya
budaya dari luar yang kita Islamisasikan,” lanjutnya. (nur)
No comments:
Post a Comment