JAKARTA – Indonesia diyakini sebagai target komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Bukan hanya itu, mereka berharap ada payung hukum untuk pernikahan sesama jenis. Meski diakui oleh Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigay, bahwa, tidaklah mudah untuk mewujudkan semua itu. Butuh ratusan tahun untuk melegalisasi pernikahan sesama jenis di Indonesia, meski keberadaan LGBT sudah menjadi fakta sosial.
“Menurut saya untuk Indonesia, saat ini belum, masih jauh (legalisasi). Peradaban bangsa ini kalau dilihat dari kondisi sosial masyarakat belum bisa. Membutuhkan waktu ratusan tahun untuk itu,” demikian disampaikan Natalius Pigay dalam diskusi bertajuk ‘LGBT Beda Tapi Nyata’ di Warung Daun Cikini Jakarta, Sabtu (20/2/) kemarin.
Ia menjelaskan, persoalan LGBT memang sensitif. Karena persoalan ini menyentil banyak sisi kehidupan masyarakat. Di antaranya sensifitas agama, budaya, sosial dan lain-lain. Sehingga untuk memenuhi tuntutan yang sudah dilegalkan di banyak negara liberal, itu sangat tidak mudah.
“Persoalan LGBT bukan hanya agama, tetapi juga sensifitas sosial, sensifitas budaya, dan sebagainya. Kita masih belum bisa. Tetapi mengakui keberadaan mereka, harus, bahwa itu fakta sosial yang tidak bisa dipungkiri,” jelasnya.
Pandangan yang sama disampaikan cendekiawan Islam, Ulil Abshar Abdalla. Ulil berharap umat Islam memahami realitas sosial tersebut. Menurut Ulil, LGBT bukankah penyakit. Karena itu keberadaannya harus dipahami, bukan dimusuhi.
Meski yakin LGBT bukanlah penyakit, tetapi Ulil menginginkan kehidupan anak-anaknya berjalan normal. Dia berharap anaknya tetap heteroseksual (ketertarikan dengan lawan jenis).
“Saya akan lebih suka kalau anak saya heteroseksual. Tapi saya tidak akan mengusir dia jika dia jadi LGBT,” ungkapnya dalam diskusi yang sama di Warung Daun Cikini Jakarta tersebut.
Masih menurut Ulil, apabila anaknya merupakan salah satu kelompok LGBT, maka langkah pertama yang dilakukan adalah berdiskusi. Hal itu dilakukan untuk mengetahui alasan apa sehingga masuk ke dalam kaum tersebut.
“Saya akan ajak diskusi dan menanyakan kenapa dia menjadi begitu. Saya punya pandangan seperti ini, hanya persoalan preferensi pribadi,” ungkapnya. (Baca Boks: Pendapat Ulil Lengkap Soal LGBT)
Sementara, secara terpisah, Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddik menyatakan saat ini Indonesia dalam keadaan darurat LGBT. Menurut Mahfudz isu LGBT ini tidak boleh dianggap enteng, bahaya fenomena LGBT ini membutuhkan perhatian serius dari semua pihak.
“Munculnya kasus-kasus hukum berkaitan dengan pelaku dan perilaku LGBT makin menyentakkan kesadaran masyarakat luas akan ancaman dan bahaya LGBT,” katanya kepada pers di Jakarta, Sabtu (20/2) kemarin.
Misalnya, kata Mahfudz, kasus paling aktual artis SJ dan presenter IB yang diduga melakukan pelecehan seksual sesama jenis.”Jika kita cermati indikator-indikator yang melingkupi fenomena ini, maka saya berpendapat bahwa Indonesia mulai memasuki tahap darurat bahaya LGBT,” katanya.
Apa indikator darurat dari fenomena tersebut, dia menyebutkan beberapa hal. Pertama, LGBT justru menyeruak pelaku, perilaku dan penyebarannya di kalangan figur publik khususnya artis. Tidak dipungkiri figur publik seringkali menjadi model peran (role model) bagi peniruan perilaku di kalangan penggemarnya.
Kedua, pelaku dan perilaku LGBT di kalangan figur publik secara langsung atau tidak langsung disebarluaskan secara massif oleh lembaga penyiaran, khususnya televisi. Sebagai bukti, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selama bulan Februari 2016 saja sudah mengeluarkan sekitar 6 (enam) sanksi teguran terhadap program-program televisi yang mempromosikan pelaku dan perilaku LGBT.
“Bayangkan jika setiap hari ada beberapa televisi menampilkan pelaku dan perilaku LGBT dalam programnya, berapa juta warga masyarakat Indonesia yang terterpa pesan langsung dan tidak langsung tentang LGBT?,” katanya.
Ketiga, pelaku LGBT juga membangun kesadaran kelompok dan melakukan upaya bersama untuk memperjuangkan pembenaran, eksistensi sampai pengakuan hak-hak hukum atas orientasi perilaku seksualnya. Tentu saja mereka secara sadar juga melakukan berbagai upaya untuk menambah jumlah pelaku dan menyebarluaskan perilaku LGBT.
“Penularan yang terlihat cepat di kalangan figur publik khususnya artis, bisa jadi contoh paling gamblang,” kata politisi PKS ini.
Keempat, bersamaan dengan indikator ketiga itu juga muncul pembelaan dan advokasi dari berbagai kalangan baik perorangan maupun kelembagaan. “Ada akademisi yang nyaring bersuara membela LGBT. Ada LSM yang giat melakukan advokasi,” katanya.
Ada perusahaan-perusahaan multinasional yang ikut mempromosikan LGBT. Bahkan mungkin juga ada lembaga-lembaga donor dari luar negeri yang ikut membiayai kampanye pengakuan hak bagi pelaku dan perilaku LGBT. Jangan-jangan yang bersuara keras membela LGBT, di balik itu memang ada duitnya.
Kelima, kampanye viral melalui media sosial saat ini dimanfaatkan secara maksimal oleh pelaku dan pendukung LGBT untuk menyebarluaskan paham, menggalang dukungan dan juga menjaring pengikut baru. Sementara sampai saat ini tidak ada regulasi yang mampu secara efektif mengontrol kampanye viral melalui media sosial.
“Apalagi ada indikasi penyedia program media sosial yang umumnya dari luar negeri juga sepertinya permisif terhadap LGBT,” katanya.
Keenam, sistem hukum Indonesia termasuk peraturan perundang-undangannya belum secara tegas dan jelas mengatur tentang pelaku dan perilaku LGBT. Rusia, Singapura dan Filipina, misalnya, sudah punya perundang-undangan yang jelas dan tegas tentang pelarangan LGBT.
Ketujuh, kalangan kedokteran, psikolog dan psikiater sudah secara jelas menyatakan bahwa LGBT adalah bentuk penyimpangan orientasi dan perilaku seksual yang berifat menular. Penularan ini bisa menyerap siapa saja, tidak peduli usia dan latarbelakangnya. Kalangan agamawan dari semua agama pun sudah jelas mengharamkan LGBT.
Kedelapan, sampai hari ini pemerintah belum ada kebijakan dan sikap yang jelas dan tegas tentang LGBT dalam konteks bahaya dan ancaman terhadap masa depan bangsa. Kesembilan, kampanye LGBT yang sedang berlangsung di Indonesia mengacu kepada kesuksesan kaum LGBT di beberapa negara Eropa yang mendapatkan hak pengakuan hukum.
“Ini akan menjadi agenda perjuangan sistemik kaum LGBT di Indonesia untuk mendapatkan hak serupa,” katanya.
Pemerintah, DPR dan semua komponen masyarakat sudah semestinya memiliki kesadaran kolektif untuk menghadapi dan menyelesaikan persoalan ini. “Lebih khusus lagi media massa, media penyiaran dan media sosial harus mawas diri agar tidak menjadi agen penyebarluasan pelaku dan perilaku LGBT,” katanya
Sementara, aktivis LGBT, Hartoyo mengaku kaumnya masih mengalami kesulitan hidup di Indonesia. Mereka bahkan terkadang tidak bisa mendapatkan hak-hak dasar sebagai warga negara.
“Soal keamanan dan resistensi orang. Hak-hak dasar saya kemungkinan besar hilang,” kata Hartoyo saat diskusi bertajuk “LGBT, Beda Tapi Nyata’ di Warung Daun Cikini Jakarta, Sabtu (20/2).
Hartoyo mengungkapkan perlakuan-perlakuan yang berbeda dan diskriminasi terhadap kaum LGBT menyebabkan orang yang ikut dalam kelompok itu, banyak yang takut untuk mengakui diri mereka. “Contohnya laki-laki yang berpenampilan memiliki anting akan diejek atau dibully masyarakat. Atau perempuan yang gundul atau memiliki sifat kelaki-lakian,” katanya.
Dan, ternyata, tidak semua sependapat dengan Ulil Abshar Abdalla. Dalam sebuah talkshow, seorang psikiater mengatakan bahwa LGBT merupakan kelainan alias penyakit. Bahkan sudah pada taraf meresahkan umat. Psikiater Dr. Fidiansyah menyatakan LGBT termasuk gangguan jiwa. Karena merupakan salah satu bagian dari gangguan jiwa, penyakit ini pun juga bisa menular kepada orang lain.
Dalam sebuah diskusi Indonesian Lawyer’s Club (ILC) di salah satu stasiun televisi swasta yang bertajuk “LGBT Marak, Apa Sikap Kita?” ia mengatakan, dalam sebuah buku Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) halaman 228 disebutkan homoseksual dan biseksual termasuk dalam gangguan psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan perkembangan dan orientasi seksual. Jadi sangat keliru kalau dikatakan PPDGJ menghukumi LGBT bukan penyakit.
“Kalau Anda baca secara utuh, ini akan ketemu, apa yang terjadi pada diagnosa (dan) dinamika yang dikatakan tidak ada, (kenyataannya) ada. Ada persis. Silakan dibuka halaman 288, kemudian 280, dan 279. Persis kalimatnya ada. Ini sebuah gangguan jiwa,” katanya serius.
Maka, menurut Fidiansyah diagnosis menjadi satu kesatuan dan keharusan. “Ketika ada pemahaman spiritualitas dan religiulitas yang diapakai oleh sebuah komunitas, sebagai acuan yang sudah dipakai, maka itu menjadi sebuah penentu diagnosis. Dan (kami) melabelkan atau membuat sebuah diagnosis bukan berarti diskriminasi. Kami justru ingin membantu,” jelasnya.
Ada beberapa langkah dini yang bisa diperhatikan orangtua terhadap anak. Misalnya, jangan memberi nama kepada anak yang tidak menunjukkan identitas. Kedua, peranan pakaian dan perhiasan. Islam melarang kaum lelaki menyerupai kaum wanita, baik dalam pakaian, perhiasan, perilaku atau lainnya, dan demikian juga sebaliknya. Ketiga, faktor makanan.Tidak dapat dipungkiri bahwa perangai dan kepribadian setiap manusia ikut terpengaruh jenis makanan yang ia konsumsi. Demi hati-hatinya, sampai-sampai orang yang memakan daging onta saja dianjurkan untuk berwudlu, guna menghilangkan pengaruh buruk daging yang ia makan. (ok,dt)
No comments:
Post a Comment