Tuesday, 16 February 2016

Hukum Pelawak atau Komedian dalam Islam

Syariah


Lawak atau gurau adalah salah satu cara mengisi waktu pertemuan secara menyenangkan. Lawak, kelakar, canda, dan humor dapat menyegarkan mata yang kantuk, menghibur hati yang duka, dan menyejukkan jiwa yang lelah. Singkat kata, gurau merupakan salah satu bagian dalam komunikasi yang diharapkan dapat menyenangkan orang lain.
Mausu’atul Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah menyebutkan bahwa Allah swt memerintahkan hamba-Nya untuk hadir sebagai sahabat yang baik di antara mereka. Kepeduliaan terhadap sahabat secara lahir dan batin ini ditekankan sekali dalam Islam. Jangan sampai kehadiran kita menyusahkan orang lain baik lahir maupun batin.
Artinya, “Perihal sikap lembut terhadap rekan dan sahabat, Allah memang memerintahkan kita untuk bersikap baik kepada teman sejawat. Teman sejawat adalah teman seperjalanan, rekan kerja, dan orang yang disatukan dengan kita dalam sebuah pertemuan. Salah satu bentuk sikap baik adalah tidak menyulitkan, bahkan membantu mereka bila perlu. Rabi‘ah bin Abu Abdirrahman mengatakan, ‘Muru’ah dalam perjalanan adalah mendermakan bekal, menghindari perselisihan, memperbanyak bergurau pada masalah yang tidak mengundang murka Allah’,” (Lihat Kementerian Wakaf dan Masalah Keislaman Kuwait, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah).
Perihal gurau, lawak, kelakar ulama memang berbeda pendapat. Sebagian ulama menghindari gurauan dan kelakar karena gurauan menurut mereka dapat mengurangi wibawa seseorang. Sementara sebagian ulama lainnya memandang bahwa kelakar justru melengkapi wibawa seseorang.
Artinya, “Sebagaimana pernyataan Az-Zubaidi, para ulama berbeda pendapat perihal gurau dan kelakar. Sejumlah ulama menganggap Rasulullah saw jauh dari gurauan dan kelakar melihat kedudukan dan martabatnya yang mulia. Ketika para sahabat ra RA menanyakan, ‘Apakah Engkau bergurau dengan kami ya Rasul?’, Beliau menjawab, ‘Aku tidak berkata selain kebenaran.’ Dengan kata lain, sebagian sahabat bertanya, apakah gurauan itu khusus untuk Rasulullah saw yang mana mereka tidak boleh mengikutinya? Rasul menerangkan, kebolehan bergurau itu bukan sebuah kekhususan baginya. Gurauan tidak menafikan kesempurnaan. Bahkan gurauan itu konsekuensi dan pelengkap kesempurnaan bila gurauan berjalan sesuai undang-undang.”
Imam An-Nawawi secara jelas menyebutkan bahwa lawak, humor, dan kelakar itu bergantung pada porsinya. Sejauh tidak terperosok pada hal yang dilarang seperti merendahkan bahkan menyakiti orang lain, kelakar dan gurauan tidak masalah. Ketika dan kelakar mengarah pada pengecilan terhadap martabat orang lain, dilakukan secara berlebihan, atau melalaikannya dari kewajiban, humor dan lawak dilarang agama.

Artinya, “Para ulama berkata, ‘Kelakar terlarang adalah kelakar yang berlebihan dan dilakukan terus-menerus karena menyebabkan senda gurau dan keras hati’ serta dapat melalaikan zikir dan menyita perhatian yang semestinya diarahkan untuk memikirkan perihal penting dalam agama. Kecuali itu, kelakar sering kali menyakiti perasaan orang lain, memicu kebencian, dan menurunkan wibawa orang lain. Sementara kelakar yang jauh dari sifat-sifat itu dibolehkan seperti kelakar yang dilakukan Rasulullah saw. Beliau melakukannya sesekali untuk kemaslahatan dan menghibur hati lawan bicara. Untuk ini tidak ada larangan sama sekali. Bahkan kelakar seperti ini sunah yang dianjurkan bila dilakukan sesuai sifat-sifat gurauan Rasulullah saw. Pegang lah pendapat ulama yang kami rujuk, dan hadits berikut hukumnya yang kami teliti karena hampir semuanya dibutuhkan. (nur)

No comments:

Post a Comment